Dari Vespa Mogok Sampai Kopi Handi

January 23, 2016


Saya dibonceng Randa naik vespa untuk menjauh dari kota Manado, Minggu dini hari (17/1/2016). Ia adalah lelaki berwajah imut dengan tatoo di tangan dan dadanya. Telinganya ditindik. Baju hitamnya disablon slogan-slogan revolusioner. Vespanya ekstrim: ceper, panjang, berwarna gelap namun tidak bisa dibilang hitam. Di bagian depannya, dekat lampu, digantung satu boneka - yang lebih mirip jimat daripada hiasan.


Inisiator perjalanan ini ada di vespa merah dengan gambar Angry Bird. Penunggangnya Hendra Wijaya (Endha), seorang yang sampai hari ini percaya eksistensi alien. Sejak Sabtu (16/1/2016), Endha beberapa kali menghubungi saya untuk memastikan perjalanan ini. Jadwal tertunda. Mati lampu selama 24 jam, jadi alasan tepat, karena komunikasi kami memang terhambat.



Namun, tak ada satupun dari kami yang ingin membatalkan janji. Mati lampu tidak boleh menghalangi keinginan untuk menemui tempat-tempat, orang-orang dan cerita-cerita baru. Kami tahu, agar hal itu tercapai, ada konsekuensi yang harus kami terima: kehujanan, kelelahan hingga ketabahan hati menghadapi vespa mogok.

Toh, kami berangkat juga, dan itu berarti menghirup asap dan debu jalanan, mandi sinar matahari, tidur di tepi jalan raya -seperti dugaan sebelumnya- kehujanan, kelelahan dan... otak-atik vespa mogok.


Saya tak begitu ingat berapa kali berhenti untuk memperbaiki vespa atau sekedar istirahat, mungkin bisa 10 hingga 15 kali. Namun, dalam tiap kesulitan yang dihadapi tadi, selalu saja ada orang yang berniat baik membantu: mengajak minum teh hangat di pagi hari, menemani ngobrol saat ban bocor serta bertemu bocah-bocah desa yang bicara panjang-lebar soal cita-citanya.

Meski kami adalah orang asing, namun tak satupun dari mereka menaruh kesan curiga.



Setidaknya, dua malam kami menghabiskan waktu di jalan raya, sebelum tiba di kota Gorontalo, provinsi Gorontalo, dan membayar rasa lelah selama di perjalanan. Meski gagal mendatangi lokasi-lokasi wisata untuk sekedar cuci mata, karena vespa perlu mendapat perawatan, kami tidak mau menyia-nyiakan berbagai kesempatan di kota ini.

Untungnya, kebutuhan itu bisa terpenuhi karena bantuan Zulkifli alias Sakti, kawan baik yang punya kedekatan dengan pandai vespa di kota Gorontalo. Selain punya kenalan yang paham besi dan mesin tua, Sakti juga memberi kami makanan enak dan bergizi, menampilkan dirinya sebagai barista, mengantarkan ke tempat kawan-kawan lain dan menunjukkan kedai kopi yang sangat enak.



Selain bengkel vespa, kami mengunjungi beberapa lokasi penting di Gorontalo dan membicarakan banyak hal. Di Japesda, saya ngobrol banyak dengan Yahya Laode, kawan baik yang saya kenal di Manado, mengenai politik, sex, lingkungan, advokasi dan topik-topik remeh-temeh lainnya.

Lokasi lain adalah sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kota Gorontalo. Di sini, diskusi berlangsung cair. Selain bertukar pikiran soal jurnalisme, gender, sosial-media juga rencana perjalanan. AJI Gorontalo tidak terlalu asing bagi saya. Di sana, saya kenal pemuda-pemudi (ngakunya) yang penuh kegembiraan dan yang paling penting... Berbahaya! Karena itu, saya tertantang untuk jadi bagian dari mereka.



Di samping kiri halaman sekretariat AJI Gorontalo terdapat kedai kopi beratap rumbia, serta meja dan kursi untuk pelanggan. Barista di kedai itu bernama Handi Maksoed, seorang yang begitu radikal mengkampanyekan potensi kopi Pinogu. Beberapa kali kesana, beberapa kali juga saya mencoba menu kopi yang berbeda, semisal kopi hitam, kopi susu tarik hingga kopi tetes.

Kedai kopi Handi memang bukan nama besar. Ia dikenal pelanggan fanatiknya karena cita rasa kopi yang ditawarkannya. Sepanjang umur dan sepanjang ingatan saya, ini adalah kedai kopi paling enak, selain itu, yang tak kalah penting, harganya relatif murah. Buat saya, enak dan murah merupakan dua hal yang sulit ditemukan di abad ketika orang tersedot nama besar Starbucks demi meneguk kopi dengan harga yang setara 5-6 gelas kopi Handi. Di kedai kopi Handi, saya benar-benar minum kopi, bukan atau tanpa ilusi.






Pagi ini, kami akan kembali melanjutkan perjalanan dan menemukan hal-hal unik lainnya, yang entah apa itu. Saya agak ragu soal takdir. Hari esok akan tertulis, setelah saya menjalani dan mencatatkannya.

Sampai jumpa di cerita selanjutnya.


Gorontalo, 24 Januari 2016

You Might Also Like

0 comments