Spontanitas Pulisan
January 15, 2016Sudut lain di pantai Pulisan |
Insomnia saya kumat lagi. Hingga pukul 8.30 Wita, ngantuk belum juga
datang. Padahal, saya sudah berusaha sebisa mungkin untuk dapat mimpi. Putar kanan-putar
kiri, mengkhayal, ngobrol dalam hati, mikir serius, mikir ngeres. Percuma. Saya
agaknya mesti cari cara agar bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin – yang sebenarnya
bisa dijawab dengan beberapa teguk captikus.
Namun, dampak kemarau panjang membuat harga minuman sakti mandraguna
itu tak mungkin dijangkau untuk saat ini. Minimal bagi saya – yang malas keluar
kos sepagi ini untuk sekedar cari warung, apalagi harus mengeluarkan 30-40 ribu
rupiah.
Keterbatasan itu, kemudian, mendorong saya untuk membuat sebuah rubrik
baru di blog ini: fotoesai. Dalam
rubrik ini, akan ada sajian foto plus cerita-cerita di baliknya. Tujuannya, nggak
lebih sebagai arsip pribadi mengenai suatu peristiwa, lokasi atau orang-orang yang
terasa menarik.
Nah, untuk tahap awal, artikel yang disajikan tentu saja harus istimewa
dan bisa tergapai oleh orang setengah sadar seperti saya. Agak sulit
menentukannya,memang. Ada beberapa foto yang bisa masuk kriteria itu. Tapi,
saya akhirnya memilih jalan-jalan di pantai Pulisan sebagai artikel pertama di
rubrik ini.
Suasana Pulisan Hari Itu |
Alasan memilih foto ini karena, pertama meski bukan yang utama, saya
tiba di sana bersama dengan salah seorang yang pertama kali dan cukup lama saya
kenal di kota Manado: Rendy Mandang, namanya – biasa dipanggil Alo. Sekitar 8
tahun lalu, ketika baru menjadi mahasiswa, kami berkenalan. Dan baru beberapa beberapa
hari lalu, Alo akhirnya menerima ijazah sarjana. Syukurlah. (Waktu memang
bergerak lebih cepat dari yang kita bayangkan, bro!)
Alasan kedua,karena perjalanan ke Pulisan sama sekali tidak
direncanakan secara matang. Sebagai orang yang sudah dekat sejak lama, dan
mengenal satu sama lain, saya sering melempar wacana dan tanpa pikir panjang ia
berusaha mewujudkannya. Istilahnya, saya melempar tulang dan dia berusaha
menemukannya. Istilahnya lho, bro! :p
Alasan ketiga, artikel ini diharapkan jadi jejak awal untuk mengukir
jejak-jejak petualangan berikutnya. Eits, tunggu dulu... Saya tidak bermaksud menyaingi
ataupun meligitimasi slogan hipokrit rubrik petualangan yang namanya banyak
dicetak di kaos pemuda-pemudi kekinian. Tak ada niat heroik begitu.
Baiklah, kita mulai saja ceritanya...
Setelah selesai liputan di desa Tarabitan, Minahasa Utara, Sabtu,
(21/11/2015), saya melemparkan ide, “Gimana kalau kita ke pantai Pulisan. Kata
orang, pasirnya putih, trus ada bikini warna-warni di sana!”
Alo dengan cepat bilang “ayuk!”
Saya sudah bisa bayangkan imajinasinya. Saya kenal betul kawan yang
satu ini. Waktu kuliah dulu, ia bisa dibilang fans berat Miyabi. Saya sempat tidak
sengaja lihat film-film Miyabi di handphone Alo. Tak lama kemudian saya juga
ikut mengidolakan artis ini: membeli baju “I Love Miyabi”, update berita tentangnya, hingga memastikan tidak boleh ketinggalan
film-film terbaru yang ia perankan.
Kembali ke topik semula!
Dari desa Tarabitan, perjalanan ke pantai Pulisan sekitar 1 jam, kalau
saya tidak salah ingat. Kami sebenarnya sama-sama tidak mengetahui tempatnya
secara pasti. Namun, saya yakin, imajinasi Alo sudah tiba lebih dahulu di sana.
Singkat cerita, kami tiba juga di Pulisan. Pasir pantainya putih dan
lautnya jernih. Benar juga, ada bikini warna-warni di sana. Pemuda-pemudi
saling berpasangan. Kalau tidak begitu, mereka datang ramai-ramai dengan teman
atau keluarga. Mereka tertawa gembira. Main air, main pasir.
karena nggak dapet foto bikini warna-warni, pake foto ini aja yaaaa :p |
Saya dan Alo tiba-tiba saja jadi kikuk. Kami terpenjara kerangka
berpikir konservatif. Mandi bersama di keramaian akan melahirkan gosip, lebih
parah lagi kalau kami mandi berduaan di lokasi yang sepi. Lalu, kami sepakat memilih
opsi yang terakhir: mencari sebuah ruang sunyi dan jauh dari keramaian – apapun
resikonya.
Di sepetak pantai yang kami datangi, hanya ada sebuah tenda berisi
sepasang kekasih: laki-laki dan perempuan. Mereka tidak keluar dari sana sejak
kami datang, hingga pulang. Di luar tenda, hanya ada saya dan Alo. Melihat
keadaan ini, sebisa mungkin saya berusaha menahan hati yang rapuh agar tidak
semakin hancur berantakan.
Ini lokasi saya dan Alo main air. Sunyi, kan? |
Karena tidak bawa baju ganti, dan sudah pasti harus membasahi tubuh,
kami mesti menanggalkan seluruh pakaian. Kemudian, dengan sangat waspada, kami
melepaskan baju dan celana jeans masing-masing. Melepas sendiri-sendiri, tanpa
saling bantu. Saat itu, kami bahkan harus mencurigai keheningan.
Sejurus kemudian, kami berdua tinggal mengenakan kolor. Masih dalam
keadaan kikuk dan waspada. Berjalan pelan menuju air, tanpa saling tegur, pura-pura
menikmati, dan... PERSETAN DENGAN KEADAAN INI, KITA BERADA DI SURGA, BRO!
Byurrr!!!
Kami secara bersamaan membantingkan diri ke air.
Guyuran ombak seketika mencuci otak, kami tak lagi mempedulikan stereotype. Hari ini, Spongebob dan Patrick
pulang lagi ke Bikini Bottom!
Senang sekali rasanya, bisa menyaksikan Alo berperan menjadi ta(*SENSOR*)iiiikkk
yang pasrah mengikuti arus. Ia bergoyang kesana-kemari sesuai alunan ombak. Saya
sadar, hari itu telah lahir seorang aktor hebat!
Inilah adegan yang saya maksud |
Saya jelas akan mengutuk diri bila mengabaikan kesempatan ini. Saya juga
harus bersenang-senang. Harus!
Bermain air adalah momentum untuk kembali menjadi anak-anak. Apa yang
kaupikirkan bila anak-anak berendam di air? Yup, tepat sekali, PIPIS di CELANA!
Saya begitu gembira bisa kembali melakukannya. Tak hanya sekali. Tiga atau
empat kali mungkin, akan jauh lebih banyak jika waktu yang kami miliki tidak
sesingkat itu.
Senangnya kembali melakukan kebiasaan anak-anak |
Sekitar 2 atau 3 jam mengeksploitasi pantai Pulisan, sudah cukup untuk
membuat beberapa bagian tubuh mengkerut. Setelah itu, sambil merokok satu-dua
batang, kami duduk santai di pasir pantai sambil menunggu badan kering.
Ah, ini surga |
Saat (ke)malu(an) itu hilang |
Lalu, kegembiraan itu perlahan mulai surut.
Kami kembali mesti berhati-hati mengenakan pakaian yang sedari tadi
ditanggalkan, melintasi jalan serupa dengan waspada dan sesekali mencuri
kesempatan menyaksikan bikini yang warna-warni. Bagi saya, terdampar di Pulisan
selalu saja menyenangkan.
Kami berjanji akan kembali lagi ke sana, dengan lebih banyak orang! – ketambahan
1 atau 2 orang lumayanlah.
Tapi, justru itulah kelemahan kami... Janji.
Coba lihat di kejauhan sana, indah bukan? Itu yang buat saya sedih |
1 comments
menarik juga ternyata ngana pe tulisan ini..
ReplyDeleteboleh sto kayaknya kita mengisi itu "ketambahan 1 atau 2 orang"