Siapakah Orang (Indonesia) 'Timur' Itu?

June 10, 2016




Saya sempat senyum-senyum waktu membaca artikel mojok berjudul "Sisi Lain Orang (Indonesia) Timur yang Jarang Diekspos". Sungguh. Apalagi di bagian Raul Lemos. Bro Muksin Kota punya selera humor untuk menghibur adek-adek yang sedang rapuh. Makanya, saya tidak yakin, bro pernah ditolak cewek.


Saya rasa, awalnya, bro mampu menunjukkan bahwa stigma negatif yang selama ini dibangun mengenai orang 'timur' bersifat generalisir. Pukul rata. Misalnya, kalau ada 1 atau 2 orang 'timur' jadi tukang palak di terminal atau tempat karaoke, maka masyarakat 'timur' – secara kolektif bukan lagi individual – dituding sebagai sekelompok kriminil. Bro dengan tegas seakan bilang, “tidak bisa begitu!”

Namun, senyum tadi berganti menjadi kerutan di dahi. Ada bagian yang terasa mengganggu, yang kemudian mendorong saya membuat tulisan ini.

Begini bro Muksin, niat baik untuk mematahkan stigma negatif mengenai apa yang bro sebut sebagai orang ‘timur’ justru semakin menegaskannya. Bro menyebut, orang ‘timur’ bersolidaritas mencari kerja di kota untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan, dengan tambahan yang begitu kejam, “Ada tidaknya lapangan pekerjaan di tanah orang tersebut lain lagi soalnya.”

Saya sedih. Orang yang disebut ‘timur’ itu sudah dikata miskin, sembrono pula.

Sebelumnya, saya berharap bro bisa menghindari generalisasi. Karena, pertama, ekspansi penduduk dari daerah menuju kota tidak hanya dilakukan orang-orang yang bro sebut dari ‘timur’, tetapi juga dari wilayah-wilayah lain di Indonesia ataupun luar Indonesia. Kedua, bro telah gagal menjelaskan siapa itu orang ‘timur’.

Dalam tulisan yang bro bikin, orang ‘timur’ itu terasa absurd. Seakan-akan seragam. Kemudian, jika ditelan mentah-mentah, kategorisasi dan atribusi kata ‘timur’ yang berulang kali bro gunakan bisa menyesatkan.

Kok bisa?

Saya beri contoh. Apakah Manado termasuk ‘timur’? Yups, benar sekali! Berdasarkan pembagian zona waktu di Indonesia, kota Manado masuk dalam zona Waktu Indonesia bagian Tengah (WITA), bukan Waktu Indonesia bagian Timur (WIT). Awalnya saya tertipu, ya, karena Manado sering dikategorikan sebagai ‘timur’. Apa bro juga kira begitu? Adu mama sayang eee!!!

Lebih melenceng lagi, jika menggunakan ciri-ciri fisik, seperti yang bro contohkan: rambut kriting dan berkulit gelap. Mayoritas penduduk di kota Manado berambut lurus, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rata-rata mereka berkulit putih.

Jangan salah sangka. Saya tidak sedang membicarakan dominasi ras. Juga tidak menyatakan hitam itu jahat dan putih itu baik. Warna kulit tidak bisa jadi patokan baik-buruknya manusia. Hitler, yang bro sempat tuliskan namanya, berkulit putih, rambut klimis, kumis lucu. Tapi, ya astaga, ternyata psikopat!

Saya kira, persoalannya adalah penggunaan atribusi ‘timur’ dengan ciri fisik yang terus-menerus direpetisi, tidak memiliki landasan teoritik yang kokoh. Hasilnya, bro berusaha menghindari generalisasi tapi justru terjerumus dalam generalisasi itu sendiri.

Padahal, generalisasi itu tidak pernah menyenangkan. Kayak dikatain cewek, “semua cowok itu sama!” Bro Muksin pernah dikatain begitu? Saya pernah. Gimana rasanya? Sakit bro. Sakit! Saya lalu marah. Emosi. Lantas balik teriakin pacar saya, “UDAH TAU SEMUA COWOK SAMA, KENAPA KAMU COBAIN SEMUANYA!!!” (Sorry, beb! :p)

Tapi serius, saya pernah dikatain begitu!

Nah, kita kembali lagi ke topik semula. Kenapa bro Muksin Kota menggunakan atribusi ‘timur’? Karena banyak yang bilang dan tulis begitu? Membebek dong!? Lantas, kira-kira, kenapa yang lain bisa bilang dan tulis begitu? Tidak tahu?

Izinkan saya menduga-duga. Menerawang…

Kemungkinan, penggunaan istilah ‘timur’ yang terus dipertahankan sampai sekarang, didasari fakta sejarah mengenai Negara Indonesia Timur (NIT) bentukan pemerintah kolonial Belanda, pada tahun 1946. NIT terdiri dari 5 Karesidenan, seperti: Karesidenan Sulawesi Selatan, Karisedenan Sulawesi Utara, Karisedenan Bali, Karisedenan Lombok dan Karisedenan Maluku.

Tahun 1950, NIT bubar. Belanda pulang kampung dan tidak pernah juara piala dunia sampai sekarang. "Ngana rasa itu meneer!"

Sampai di sini, saya membangun hipotesis bahwa kategorisasi ‘timur’ dibangun berdasarkan fakta sejarah pernah dibentuknya Negara Indonesia Timur. Benar-tidaknya prediksi tadi, saya yakin, bro Muksin tidak mungkin menggunakan atribusi ‘timur’ berdasarkan zona waktu di Indonesia, bukan?

Kalau dugaan saya benar, soal pengawetan atribusi ‘timur’ itu, saya mau bertanya ke bro Muksin, “situ antek kompeni ya!?”

Saya becanda, bro! hahahaha

Ok, bro Muksin. Sampai di sini saja kritik-kritik saya. Jangan marah, ya. Bikin artikel lagi. Bales lagi tulisan ini dengan kritik. Jangan disensor, bredel atau pake pentungan.

Akhirnya, saya tutup artikel ini dengan kutipan dari Pram. Di bagian akhir Esai berjudul “Jakarta” dia tulis begini, “Setidak-tidaknya aku amat berharap pada kau, orang daerah, orang pedalaman, bakar habis keinginan ke Jakarta untuk menambah jumlah tugu kegagalan revolusi kita. Bangunkan daerahmu sendiri. Tak ada gunanya kau melancong ke ibukota untuk mencontoh kefatalan di sini.”

Orang daerah, orang pedalaman, kata Pram. Bukan orang ‘timur’!

Sekian.

You Might Also Like

0 comments