(Tidak) Adil Sejak dalam Pikiran, Apalagi dalam Pemberitaan Kekerasan Seksual

April 16, 2017




L mengakhiri hidup di usia remaja. Ada sejumlah peristiwa yang mendahului keputusan tersebut. Pertama, L menjadi korban perkosaan sekuriti kampung. Kedua, kejadian tersebut diketahui seorang wartawan dari tabloid lokal, yang begitu berambisi mewawancarai korban.

Tempo.co pada akhir Maret 2017 menceritakan, dua kali wartawan itu mendatangi rumah korban, termasuk mencari ke sekolahnya. Tiap dia datang, L yang takut memilih mengurung diri di kamar. L tak mau semakin banyak orang mengetahui kejadian yang menimpanya.

Tapi, wartawan itu terus mendesak. Kepada orang tua korban, ia sempat mengeluarkan sejumlah ancaman, sambil terus-menerus menyalahkan korban. Kalimat-kalimat intimidatif itu terdengar hingga di dalam kamar – tempat L mengurung diri.

Sehari setelah peristiwa intimidatif itu, L ditemukan tak bernyawa. Bunuh diri.

Sulit bagi saya tidak menghubungkan rentetan peristiwa itu dengan keputusan L mengakhiri hidupnya. Sebab, wartawan tersebut tidak hanya datang di waktu yang tidak tepat, tetapi juga menunjukkan perlakuan yang tidak semestinya.

Bukannya membantu pemulihan psikologis korban, intimidasi dan ancaman dari wartawan malah memperburuk trauma kekerasan seksual yang masih lekat dalam ingatan. Ia juga cenderung menempatkan korban kekerasan seksual sebagai sumber masalah.

Dari situasi itu, kita bisa tahu, pelaku perkosaan dan wartawan menggunakan logika serupa. Yang satu menjadikan perempuan sebagai objek dominasi seksual. Yang satu lagi, menggunakan perempuan sebagai objek berita perkosaan yang sensasional.

Meski korban mengalami guncangan psikologis dan traumatik yang hebat, wartawan itu tidak peduli dan sama sekali tidak memikirkan potensi terburuk dari intimidasi tersebut. Ya, salah satunya bunuh diri.

Saya kira, niat utama wartawan itu bukan memberi informasi pada publik. Tapi, lebih bernafsu mengeksploitasi korban kekerasan seksual. Hasrat membuat berita sensasional telah mengaburkan persoalan sebenarnya.

Ini tentu tidak adil. L, sebagai korban perkosaan, kembali mengalami tindak kekerasan psikologis oleh pekerja media, bahkan sebelum berita itu dibuat. Tindakan tersebut jelas mengabaikan hak-hak korban kekerasan seksual.

Memangnya, bagaimana pemberitaan yang memperhatikan hak-hak korban kekerasan seksual?

Komnas Perempuan merincinya sebagai berikut: tidak mengungkapkan identitas korban, tidak melakukan stigmatisasi korban sebagai pemicu kekerasan dan tidak mengukuhkan stereotype kepada korban. Kemudian, tidak kembali melakukan penghakiman terhadap korban, tidak menggunakan diksi yang bias, tidak menggunakan narasumber yang bias atau tidak ada kaitannya dengan substansi pemberitaan, dan tidak kembali melakukan replikasi kekerasan.

Selain mengabaikan hak-hak korban kekerasan seksual, intimidasi wartawan kepada L juga melanggar Kode Etik Jurnalistik. Ada dua rujukan dalam Kode Etik Jurnalistik yang bisa digunakan untuk menjelaskan pelanggaran tadi.

Pertama, pasal 2 huruf (f) Kode Etik Jurnalistik menyebut, wartawan harus menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto dan suara. Kedua, pasal 8 menyatakan, wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan jenis kelamin.

Sekali lagi, beberapa kriteria terkait pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual, serta dua poin dalam kode etik jurnalistik itu, sudah dilanggar wartawan yang mengintimidasi L, bahkan sebelum berita dipublikasi.

Tidak Adil Sejak Dalam Pikiran, Apalagi Dalam Pemberitaan

Jadi, sampai di sini kita tahu, ketidakadilan yang dibuat wartawan terhadap korban kekerasan seksual, sudah dimulai sejak dalam pikiran. Apalagi dalam pemberitaan.

Ketidakadilan berpikir, dalam banyak kasus, memang cenderung melahirkan berita-berita yang menghakimi korban kekerasan seksual, mengaburkan masalah serta menempatkan perempuan sebagai obyek eksploitasi.

Tahun 2012, contohnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menemukan adanya justifikasi berita yang tidak tepat. Dalam berita berjudul “Istri Nolak Bersetubuh, Dibunuh Suami”, media tetap mempersalahkan korban kekerasan seksual atas kejahatan yang menimpanya.

Menyebut sikap kasar istri sebagai pemicu tindak kejahatan suami, menunjukkan kegagalan media dalam memahami konteks masalah. Dengan kata lain, AJI Indonesia menyatakan, dalam relasi suami-istri pun tindak perkosaan bisa terjadi.

Konsep ini, agaknya sulit diterima orang-orang yang memandang istri hanya sebagai pelayan suami. Tak mungkin ada perkosaan dalam relasi pernikahan. Atau dalam istilah yang lumrah kita dengar, “sudah jadi kewajiban istri melayani suami”.

Tapi, jika mengacu UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, tindakan suami yang memaksa istri untuk berhubungan badan bisa dikategorikan sebagai perkosaan dalam perkawinan (Martial rape).

Persoalan serupa, juga ditemukan ketika terjadi perkosaan pada Pekerja Seks Komersial (PSK). Banyak orang merasa, profesi sebagai PSK punya kedekatan dengan hubungan seksual. Karenanya, tak mungkin terjadi perkosaan. Dan, bila itu terjadi, maka konsekuensi tersebut wajar bagi PSK.

Ketidakadilan berpikir itu akhirnya menjungkir-balikkan persoalan. Orang tidak lagi mengutuk pelaku perkosaan, tapi habis-habisan membully PSK yang jadi korban kekerasan seksual. Di sini, pelaku kejahatan akan menjadi pihak yang ‘sekedar’ merespon ekspresi, penampilan ataupun profesi orang lain.

Dengan kata lain, pelaku kekerasan seksual dijadikan korban. Sedangkan, korban perkosaan berbalik dituding sebagai sumber masalah.

Jika saja banyak orang memandang perkosaan sebagai penindasan dalam relasi seksual, mungkin upaya memeranginya akan lebih mudah. Media bisa membingkai berita secara proposional dan menjelaskan sumber masalah kepada publik.

Pengetahuan tentang itu juga akan menghilangkan atribusi-atribusi semisal, ‘cantik’, ‘berpakaian minim’ atau ‘keluar malam hari’, yang selama ini dihubungkan dengan dosa dan kesalahan. Pada saat bersamaan, dengan memahami konteks masalah, perkosaan tidak lagi dianggap sebagai sebuah ‘kekhilafan’.

Namun, setidaknya hingga tahun 2015, riset Komnas Perempuan masih menemukan pelanggaran terkait pemenuhan hak korban, yang dijabarkan sebagai berikut: menggunakan diksi yang bias (24,21%), mengungkap identitas korban (23,15%), serta stigmatisasi korban sebagai pemicu kekerasan (15,89%).

Penggunaan diksi yang bias itu, contohnya, bisa dibaca dalam berita yang menceritakan pernikahan seorang pemerkosa dengan korbannya. Pada peristiwa sejenis ini, media sering memberi imbuhan kata seperti ‘Untunglah...!!!” atau “Mengharukan...!!!”

Lewat narasi tersebut, media bukan saja menganggap tindak kekerasan seksual bisa selesai dengan jalur pernikahan, tapi juga menunjukkan ‘heroisme’ pelaku kejahatan yang telah ‘menyelamatkan’ korban dari kehinaan.

Pembingkaian berita seperti itu, memiliki kedekatan dengan konstruksi moralitas masyarakat hari ini. Sebab, dalam tatanan masyarakat patriarkis, perempuan dipandang sebagai ‘barang’, ‘obyek’ atau ‘properti’.

Maka, kekerasan seksual akan dipandang sebagai tindakan ‘merusak’ yang bisa menurunkan ‘harga jual’. Sehingga, menikahi korban, akan dipandang sebagai tindakan ‘bertanggungjawab’ dan menyelamatkan korban dari sanksi moral.

Kalau tidak begitu, moralitas hanya akan menjatuhkan hukuman seumur hidup pada korban kekerasan seksual, sedangkan pelaku kekerasan bisa dengan cepat menjalani kehidupan normal.

Pengadilan moral ini, menghadirkan situasi yang menyeramkan bagi korban kekerasan seksual. Dampaknya, korban akan merasa malu menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya, takut, trauma dan mengalami tekanan psikologis yang hebat.

Sikap diam ini, seringkali menjadi salah satu hambatan untuk memperoleh hak keadilan dan pemulihan. Selain itu, pada saat bersamaan, pelaku kekerasan  memanfaatkan situasi tersebut untuk kembali mengulangi kejahatannya.

Jadi, kita tahu, konstruksi moralitas ini tidak berpihak pada kesetaraan hak antara sesama manusia. Ia hanya menindas satu kelompok dan menguntungkan kelompok lainnya. Apa yang diperlukan hari ini adalah memperjuangkan sebuah tatanan masyarakat yang setara.

Sebelum menuju kesana, kita perlu terus-menerus melawan tindak kekerasan seksual yang terjadi, membuat kualitas pemberitaan yang tidak bias gender, dan berpihak pada korban kekerasan seksual. 

Di samping itu, kita perlu ikut terlibat menciptakan suasana yang mendukung pemulihan kondisi psikologis maupun trauma korban kekerasan seksual. Sayangnya, keberpihakan pada korban itulah yang justru diabaikan wartawan yang mengintimidasi L.

Klik untuk melihat sumber gambar

You Might Also Like

0 comments