Aku bangun pukul 11.30 dengan sedikit
terkejut, karena pukul 17.00 pesawat menuju Surabaya akan lepas landas. Sehingga,
paling enggak, aku harus sudah berada di bandara pukul 16.00. Tapi, ya
sudahlah. Bangun lebih siang sudah jadi konsekuensi tidur terlalu pagi.
Setidaknya, ini masih lebih baik. Masih ada sedikit kesempatan mengumpulkan
kesadaran.
Menjelang pukul 12.00, aku sudah selesai
mandi, mengemasi barang bawaan yang tidak begitu banyak, lalu memesan transportasi
online. Sialnya, beberapa pesanan harus dibatalkan. Entah aku yang melakukannya
karena menunggu terlalu lama. Atau dibatalkan oleh si pengemudi, mungkin karena
jarak yang terlampau jauh. Tak ada bedanya. Jadi, aku baru benar-benar
meninggalkan Pamulang sekitar pukul 13.00.
Pukul 14.15, aku tiba di Serpong untuk
menggunakan jasa bis menuju bandara. Seorang petugas menanyakan waktu
keberangkatan pesawat. Aku menjawabnya. Dia lalu menyarankan untuk kembali
menggunakan transportasi online. Sebab, bis berikutnya baru berangkat kira-kira
pukul 15.00.
“Kalau enggak macet, mungkin waktu tempuh
sekitar 1 jam 30 menit. Tapi, saya enggak bisa pastikan. Lebih aman berangkat
mulai dari sekarang,” kata dia.
Aku sepakat dan kembali memesan taksi
online. Konsekuensinya, uang yang harus dibayarkan mencapai 3 kali lipat,
karena ditambah dengan ongkos tol. Tak masalah. Paling tidak, aku bisa tiba
lebih cepat.
***
Pukul 15.45, aku tiba di bandara. Lalu
langsung menuju pintu penjagaan, menunjukkan e-ticket, melewati mesin
pendeteksi, menyerahkan ponsel dan KTP untuk check-in.
Setelah mengamatinya, petugas mengembalikan KTP
dan ponsel. Ia mengetikkan sesuatu, yang entah apa, aku juga tidak peduli. Tak
lama kemudian, ia kembali meminta ponselku. Aku menyerahkannya.
“Pesawatnya di bandara Halim, pak,” jawabnya
sambil menunjukkan nama bandara yang tertera di e-ticket.
Mendengar itu, aku langsung menutup wajah
dengan kedua telapak tanganku – seperti ketika Roberto Baggio gagal
mengeksekusi tendangan penalti di final piala dunia 1994 silam. Aku tahu, hidup
masih akan terus berlanjut meski pada kenyataannya aku salah bandara. Tapi,
tetap saja ini bukan hal menyenangkan.
Dengan agak bingung, aku bertanya soal
alternatif yang bisa diperoleh. Petugas menyarankan untuk mendatangi customer
service di bagian depan. Aku mengikuti petunjuknya.
Di tempat yang itu, aku menjelaskan
persoalan. Petugas customer service mengatakan tak ada kursi tersisa di pesawat
lain. “Pilihannya refund atau kejar pesawat di bandara Halim,” demikian ia
memberi opsi.
Aku berjalan keluar ruangan, sesekali bicara
sendiri. “Bangsat! Kenapa enggak baca dulu nama bandaranya,” keluhku yang dalam
sekejap juga kujawab, “Siapa peduli. Setahuku bandara ya Soekarno-Hatta! Aku
bahkan baru ingat, bandara ini terletak di Tangerang, bukan Jakarta!”
***
Aku menatap jam di ponsel, kemudian memantau
sekeliling. Ada beberapa taksi bandara yang mencari penumpang. Aku langsung
ngobrol dengan salah seorang di antaranya dan menanyakan kemungkinan tiba sebelum
pukul 17.00 di bandara Halim Perdana Kusuma. Dia bilang, mungkin saja, lalu menyebut
ongkos. Aku menawar. Dia menolak.
“Kalau enggak pake argo, harganya segitu
aja, pak. Nanti tol saya bayar,” demikian supir itu menawarkan.
Aku anggap ini semacam pertaruhan. Bukan
antara aku dengan supir taksi. Tapi, antara keberhasilan dan kegagalan, seperti
yang dikatakan Sjahrir, “Kita tidak akan pernah tahu menang atau kalah, kalau
tidak pernah bertaruh”.
Aku sepakat, meski itu jadi sebuah taruhan
yang sulit. Brengseknya, aku lupa, bahwa
aku jarang sekali menang judi!
***
Taksi meliuk, seperti dalam film. Supir
mengaku jarang berkendara dengan cepat. Aku juga bilang aku tidak suka mobil
ngebut, tapi hari ini lain ceritanya. Bedanya, aku perlu cepat supaya selamat,
sedangkan si supir tidak punya beban apa-apa.
Sekitar 5 kilometer, supir menyombongkan
kemampuannya dan menyebut diri sebagai “pensiunan yang masih gesit”. Dia
percaya, aku bisa naik pesawat dan tiba di Surabaya beberapa jam kemudian.
Namun, keyakinan dirinya perlahan-lahan
terkikis. Jalanan mulai padat. Supir berulang kali menanyakan rute terbaik. Aku
tidak tahu, tentu saja. Cara terbaik adalah membuka Google Maps.
Aku terkejut ketika melihat semua jalur
dipenuhi warna merah. Macet di mana-mana. Berdasarkan perkiraan Google Maps,
jarak tempuh kedua bandara sekitar 44 km dengan waktu tempuh 90 hingga 140
menit.
“Setan!” makiku dalam hati.
Sepanjang perjalanan, aku berusaha membuat
rasionalisasi sendiri. Misalnya, tiba sedikit lambat, namun pesawat delay
karena mendung atau hujan. Atau, membayangkan Google Maps salah membikin prediksi.
Bahwa kemacetan tidak sepanjang garis merah di peta atau bahwa taksi punya
kesempatan menempuh 60 km/jam.
Ya, saat itu, pikiranku membayangkan jalan-jalan
sunyi di Sulawesi Utara: sebuah terusan antara Bolaang Mongondow-Gorontalo, atau
tikungan-tikungan sunyi di Bolaang Mongondow Selatan. Bahwa 40 km adalah kurang
dari 60 menit.
“Di Sulawesi Utara enggak macet pak?” tanya
supir, setelah tahu aku lama tinggal di provinsi itu.
“Macet sih macet. Tapi jarang, dan enggak
sepanjang dan sepadat di sini. Macet pun hanya di pusat kota Manado. Di luar
itu, relatif lancar,” kataku.
“Sedikit kendaraan bermotor ya di sana?”
“Jumlah kendaraan bermotor di sini lebih
banyak dari jumlah penduduk Sulawesi Utara,” jawabku agak jengkel.
Supir tertawa singkat. Namun, ia sadar, tak
bisa lagi menyombongkan diri sebagai “pensiunan yang masih gesit”.
***
Selama berjam-jam terjebak macet, aku mulai
putus asa. Kini, jam menunjukkan pukul 17.30. Aku memintanya menyudahi
perjuangan. Waktu tempuh menuju bandara Halim, berdasarkan perkiraan Google
Maps, masih 1 jam lagi. Mendung sudah hilang di langit Jakarta. Kemungkinan pesawat
delay sangatlah kecil.
Mengacu teori kemungkinan, dalam kasus ini,
aku yakin kemungkinannya yang paling masuk akal adalah pesawat sudah berangkat.
Jika tidak, aku juga yakin, itu bukanlah mujizat, tapi kerugian besar bagi
penyedia jasa penerbangan. Banyak penumpang akan protes, dan mungkin saja nama
baik mereka rusak karena publikasi media massa.
Aku kemudian, mengambil opsi kedua: refund. Setelah
mengikuti beberapa petunjuk dari artikel yang muncul di google, aku mengajukan
permohonan refund. Tak lama kemudian, masuk email yang menyatakan permohonan
refund tidak bisa dikabulkan.
Bangke!
***
Pukul 18.00. kami sudah keluar tol, tapi aku
tidak tahu lokasi tepatnya. Yang kutahu hanyalah macet. “Enggak ada bedanya tol
sama jalan biasa. Di sini, tol bukan jalan bebas hambatan, tapi jalan bebas
lampu merah,” kata supir.
Aku sudah muak dengan kemacetan dan topik-topik
soal itu. Jadi, kualihkan pembicaraan ke hal-hal lain. Supir bercerita, dulu,
dia adalah seorang pekerja di perusahaan swasta. Ketika pensiun, dia coba
membangun usaha sendiri. Membeli mobil bekas, memperbaiki lalu kembali
menjualnya.
“Tapi, baru sekitar 5 kali jalan, saya
ditipu teman sendiri. Semua uang dibawa lari ke luar pulau. Sampai sekarang dia
enggak balik-balik.”
Aku prihatin mendengarnya, tapi tak punya
solusi apa-apa selain bertanya, “tidak lapor polisi pak?”
“Enggak. Buat apa juga. Uangnya juga enggak
bakal balik. Malah saya bisa lebih banyak ngeluarin duit.”
Setelah itu, dia memutuskan bekerja sebagai
pengemudi taksi bandara. Dari pekerjaan itu, supir mendapat sekian persen dari pendapatan
hariannya. “Saya tidak ngejar setoran, pak. Sudah tua, enggak kuat,” kata dia. “Jadi,
kalau sehari dapat Rp.200ribu, ya, harus dipotong dengan uang bensin. Sisanya,
dibagi dengan perusahaan.”
Kenyataan itu, menurut supir, bikin dia dan
beberapa rekannya seringkali tidak pulang rumah dengan memilih tidur di
bandara. Sebab, pulang rumah hanya bikin pengeluaran membengkak dan potensi
mendapat penumpang di bandara semakin kecil.
Kesulitan semakin bertambah sejak munculnya
transportasi online. Banyak pengguna jasa berpaling, sehingga pendapatan ikut menurun.
Menurutnya, persaingan antara taksi konvensional dengan taksi online tidaklah
seimbang. Bukan soal penggunaan aplikasi online, tapi lebih soal hal-hal administratif
dan pembiayaan untuk itu.
“Mereka (taksi online) enak, enggak banyak
ngurus izin. Nah, kita?” kata supir sambil menyebut sejumlah persyaratan yang
harus dipenuhi perusahaan taksi. “Tapi, saya tahu, penumpang tidak peduli
dengan itu. Penumpang maunya yang mudah dan murah.”
Aku tidak memberi tanggapan. Karena, aku
tahu, supir-supir taksi konvensional tidak punya kapasitas untuk menentukan kemudahan
dan biaya yang lebih berpihak pada penumpang. Karena, seperti aku, supir-supir
itu hanyalah pekerja.
***
Jam di ponsel pintar, yang baterainya bodoh,
menunjukkan pukul 19.00. Kami akhirnya keluar dari kemacetan. Supir bertanya
stasiun kereta yang dituju dan aku menyarankan yang terdekat. Dia memberi opsi,
lalu aku minta diturunkan di stasiun Tanahabang.
Kata supir, stasiun tersebut tidak begitu
jauh. Paling 15 menit sudah sampai di sana. Dia membuka jendela, lalu mempersilakanku
untuk merokok. Aku menawarinya. Awalnya, supir agak ragu menerima, karena rokok
sisa 2 batang. Tapi, aku bilang, aku akan beli lagi setelah turun dari taksi. Dia
lalu mengambil sebatang, dan kami merokok bersama.
“Setelah jembatan ini,” supir menyebut nama
yang tidak aku ingat. “Kita turun sedikit, lurus sekitar 3 kilometer, belok
kanan, lalu tiba di stasiun Tanahabang.”
“Ini sudah enak, pak,” supir menerangkan
sambil merokok. “Orang-orang pulang kerja mengarah ke sini. Jadi, jalan kita
lewat nanti tidak macet.”
Kami melintasi jembatan yang cukup lebar. Di
kanan-kirinya gedung-gedung tinggi meninju langit. Pemerintah menyebut
pembangunan macam begini sebagai kesuksesan. Tapi, mereka seringkali
menutup-nutupi fakta, bahwa masih ada orang yang per harinya memperoleh
pendapatan di bawah Rp.50ribu saja.
Aku dan supir menghisap rokok sekaligus polusi
ibukota. Sekitar 2 kilometer jalanan nampak longgar. Taksi bandara kembali
ngebut. Aku kira, supir sudah cukup hafal dengan jalan di Jakarta. Dia membenarkannya.
Sebab, sudah sejak remaja dia mengendarai mobil. “Ya, kalau titik-titik
macetnya saya sudah hafal, pak,” terangnya.
Setelah mengatakan itu, ia nyaris menelan
rokok yang dihisapnya, kemudian batuk. Di hadapan kami, mobil tumpuk-menumpuk. Kami
kembali menyaksikan kemacetan panjang. Pengendara sepeda motor meliuk-liuk,
memanfaatkan ruang-ruang kosong.
Kata supir, pemandangan tersebut tidak biasa.
Ia membuang rokoknya ke luar jendela. Seorang pengemudi di hadapan kami keluar
dari mobilnya, lalu membuang pandangan jauh kedepan. “Lihat tuh, orang sampai
keluar. Soalnya, tempat ini jarang macet. Ada yang aneh,” kata supir membela
asumsi sebelumnya.
Kalau tidak salah, kami terjebak macet selama
satu jam. Durasi itu, jelas melebihi perkiraan supir, karena sebelumnya ia
hanya bilang “turun sedikit, lurus sekitar 3 kilometer, belok kanan, lalu tiba di
stasiun Tanahabang.”
Kali ini, aku tidak begitu kecewa. Sebab,
sudah beberapa kali supir mengeluarkan prediksi yang tidak tepat – atau justru menunjukkan
hasil yang sebaliknya. Bagaimanapun ini bukan kesalahannya. Supir taksi tak
punya kuasa untuk menentukan macet-tidaknya Jakarta.
Akhirnya, kami hanya mampu menyesuaikan
ritme, jalan perlahan-lahan, keluar dari kemacetan, belok kanan lalu tiba sekitar
20 meter dari stasiun kereta. Supir, kemudian, menghentikan taksi di dekat
lampu merah dan tepat di hadapan rambu dilarang berhenti.
***
Supir menyebut tarif sesuai argo ditambah biaya
tol. Aku terkejut dan protes. Sebab, ketika di bandara, kami menyepakati biaya tanpa
argo dan ia akan menanggung biaya tol. Supir menyatakan bahwa ia telah mengoreksi
kesepakatan itu, dan menyatakan permintaan maaf.
Aku kembali merasa kesal, tapi tetap
mengeluarkan duit dari dompet sesuai permintaannya. Aku tahu, dia akan
menanggung kerugian jika menerima uang tidak sesuai argo.
Bagaimanapun, aku pikir, tanggungan hidupku
masih lebih ringan. Katakanlah, aku merugi beberapa puluh ribu, tapi supir
tidak benar-benar memperoleh kelebihan dari kerugianku. Karena, dia punya beberapa
mulut yang harus diberi makan.
“Maaf, ya, pak. Misi kita gagal semua,” kata
supir sambil tersenyum dan agak merasa malu.
Aku menerima permintaan maaf itu, lalu
keluar dari taksi sebagai seorang yang “sudah jatuh, tertimpa tangga jalan pula”.
Tapi sudahlah. Aku kira, jika beberapa hal
berjalan di luar kendali, hidup akan memberi kejutan. Dan, kejutan itu bisa
jadi keberuntungan atau kesialan. Hari ini, aku hanya sedang sial saja.
Aku menatap ponsel, jam menunjukkan pukul
20.10. Aku perkirakan, akan tiba di Pamulang paling cepat pukul 22.30. Aku
menuju stasiun kereta dan mengetahui, itu adalah stasiun Karet.
“Bangsat, ditipu lagi!!!”
*
Sumber gambar klik di sini
- June 20, 2017
- 0 Comments