Stevano
Sumampouw, teman baik saya, baru saja menggapai salah satu cita-citanya. Kamis
(2/8/2018), ia resmi buka kafe yang diberi nama
La'Vao. Tentu saja dia layak gembira dengan pencapaian ini. Soalnya, kalau saya
tidak salah ingat, sudah sejak 3 tahun lalu dia lempar wacana untuk bikin kedai kopi.
Beberapa hari sebelum kafe La'Vao diresmikan, Nono menyampaikan
pengumuman lewat jejaring sosial Facebook. Kalimatnya manja tapi mengancam.
"Yuk, minum kofie di tempat adek. Nanti adek bikin kofie buat adek-adek
sekalian. Jang lupa datang jang benjol!"
Karena khawatir dengan keselamatan diri sendiri, saya
akhirnya memutuskan pergi ke sana,
lalu menyaksikan karakter Nono yang jarang ditampilkan:
tenang dan
romantik.
Bukan apa-apa, waktu kuliah dulu, Nono nyaris selalu
ribut dan destruktif. Di meja kantin, ia bagai pengkhotbah di padang pasir. Walau tanpa pengeras suara,
kata-katanya yang melengking, bisa menjangkau seluruh ruangan. Ia juga terbiasa
menyisipkan makian sebagai pengganti titik-koma di tiap jeda kalimat. Belum cukup. Kegaduhan masih bertambah dengan gebrakan tangannya tiap kali bicara atau tertawa.
Tapi, kafe La'Vao menghadirkan deskripsi berbeda. Bunga dan tanaman menyambut
di halaman depan. Tak jauh dari situ, meja dan kursi berbaris rapi, dengan
lilin menerangi percakapan pengunjung.
Pada bagian dalam, ada foto-foto yang kental dengan nuansa human
interest karya Christian Ignasius – bukan Ignatius –
Setiawan (Cecep). Kesan artistik
bertambah dengan pajangan cangkir teh yang terbuat dari tanah liat. Sementara, wilayah kekuasaan peracik kopi
bersembunyi di balik benteng buku-buku yang tertata di atas lemari kaca.
Saya merasakan relaksasi ketika tiba di sana. Musik
instrumental, kopi dan lilin-lilin mungil berpadu menjadi anti-depresan. Seperti yang
sudah saya bilang tadi, suasana ini adalah karakter Nono yang jarang
ditampilkan. Karakter yang, sepanjang pengetahuan saya, hanya ditampilkannya
ketika serius atau jatuh cinta. Ya, barangkali, dia sedang serius sekaligus
jatuh cinta pada kafe La’Vao.
***
“Senang, eh!” kata Nono sambil meletakkan
kopi, mengatur posisi duduk, lalu mencomot pisang goroho yang kami pesan. Butir-butir
keringat menempel di keningnya. Rambutnya yang gondong tanggung nampak jadi
perpaduan yang membingungkan antara gaya Bucek Depp, Ciko Jericho, atau Opie
Kumis.
Kepada kami, dia bilang, kafe ini dipersiapkan hanya dalam kurun sebulan belakangan. Jadi, ia harus menghabiskan uang
hasil kerjanya untuk membiayai sejumlah kebutuhan. Mendengar itu, tiba-tiba
saya ingat cerita bagaimana Nono beli motor dari hasil kerjanya ketika kuliah
dulu.
Nono memang sudah mandiri sejak mahasiswa:
membiayai sendiri kebutuhan kuliah, dan di saat bersamaan berusaha melunasi
tanggungjawab intelektual. Dari keterampilan menulis, yang kalau saya boleh
kategorikan di atas rata-rata mahasiswa, dia terlibat riset-riset, penerbitan
buku ataupun juara lomba karya tulis ilmiah.
Karena itu, Nono adalah salah
seorang yang saya jadikan rujukan untuk mengembangkan kemampuan menulis. Walau,
kesan pertama yang saya dapat ketika bertemu dengannya agak kurang
menggembirakan. Pada waktu-waktu tertentu, bahkan seringkali,
kalimat-kalimatnya yang cenderung intimidatif membuatnya jauh dari karakter
senior-motivator.
Sebagai perbandingan, di semester-semester
awal perkuliahan, saya mulai kenal beberapa senior yang menceritakan heroisme
masa lalu, sambil mengimajinasikan masa depan yang gilang-gemilang. Tentu saja,
tebar pesona model begitu jadi sesuatu yang cukup memikat banyak mahasiswa
baru.
Sayangnya, Nono bukan tipe senior
yang gemar mendongeng. Dia akan kesal pada mahasiswa yang terlalu banyak
bicara, tapi kesulitan menerjemahkannya dalam catatan. Namun, pada saat
bersamaan, dia adalah orang yang cepat – dan berulangkali – memuji
tulisan-tulisan yang dianggapnya bagus.
Pada suatu ketika, dia melempar
beberapa kertas ke arah saya, lalu bilang “Saya menyimpan puisi-puisimu”. Tiba-tiba
saya jadi dilematis, antara gembira dan cemas. Saya senang, karena apresiasi
itu datang dari Nono – antropolog muda dengan keterampilan menulis luar biasa. Agak
cemas, karena malam itu kami akan bobo bareng. Di kamar, juga kasurnya.
Kata Nono, puisi-puisi itu dia
gunakan sebagai bahan mengajar di kelas. Saya lupa mata kuliah apa, dan
bagaimana metode belajar yang diterapkannya. “Kalau mau, kamu bisa kumpul
puisi-puisimu lalu kita bikin buku. Saya bisa bantu urus,” tambahnya. Saya ragu
menjawab, sebab tidak cukup yakin, apa yang saya tulis termasuk kategori puisi.
Apapun penilaiannya, saya pikir, Nono
memang memperhatikan proses belajar yang saya lalui. Dia juga berulang kali menantang
saya untuk melampaui pencapaian hari ini. Beberapa hari lalu, dia kembali memotivasi
saya. Kali ini, lewat kafe La’Vao.
***
“La’Vao itu dari bahasa apa bro?”
saya bertanya.
“Itu dari
Valao (pingsan). Cuma kase bale,” jawab
Nono, kemudian meneguk segelas kopi. “Jang talalu
serius kwak ngana!"
“Bangsat!” kata saya dalam hati.
Saya kira dia menggunakan bahasa Perancis atau sok filosofis untuk nama
kafenya. Penamaan ini, tentu saja berbanding terbalik dengan visualisasi dan
suasana yang saya rasakan. Tapi apa boleh buat kalau misalnya dia meminjam
mulut Shakespear, “Apapun mawar disebut, wanginya akan tercium juga”.
“Terus, gimana rasa kopinya?” kini
Nono balik bertanya pada saya.
“Agak soft sih, bro,” kata saya.
“Ah, itu karena ngana so pake gula,”
dia menilai.
Kalau mau jujur, sebenarnya saya tidak
cukup mengerti kopi dan cita rasanya. Bisa dibilang, saya tidak tahu makna dari
jawaban “Agak soft sih, bro”. Jawaban itu berasal dari sesuatu yang melintas di
otak, bukan di lidah.
Katakanlah saya bukan konsumen atau
pecinta kopi yang taat, ideal apalagi fanatis. Karena – mungkin ini hanya
sekedar pembelaan personal – bagi saya, kopi bukan semata-mata soal rasa tapi
juga suasana dan dengan siapa saya meminumnya.
Di rumah kopi La’Vao, saya merasakan
kenikmatan minum kopi. Kenikmatan yang datang dari suasana, orang-orang dan
proses menghadirkan kopi (juga kafe). Seperti penggalan syair yang dinyanyikan
Bob Marley, “Tell the kids, I came last
night. And kissed them while they slept, make my coffee sweet and warm. Just
the way you used to lie in my arms.”
Catatan tambahan:
Artikel ini bukan iklan. Tapi
teman-teman perlu datang dan buktikan sendiri rasa kopi atau kenyamanan di kafe
La’Vao. Paling tidak, demi menghindari peringatan dari Nono, “Jang lupa datang, jang benjol!”
- August 04, 2018
- 2 Comments