Surabaya yang Saya Kenal
May 14, 2018
Surabaya
bukanlah kota yang asing buat saya. Di kota ini, saya lahir dan beranjak
remaja. Ia adalah asal-mula segala sesuatu tentang saya: konstruksi berpikir,
cinta dan penolakan, persahabatan dan perlawanan, serta perkelahian dan
perdamaian. Bisa dibilang, Surabaya adalah sebagian dari diri saya hari ini.
Dari berbagai kekurangan, juga ketimpangan-ketimpangan sosial-ekonominya, saya
bisa mengingat banyak kebaikan di kota ini.
Di
Surabaya, saya tinggal di sebuah kawasan yang mayoritas warganya beragama Islam.
Sebagai pemeluk Kristen, yang dikategorikan minoritas, saya tidak pernah merasa
kesepian. Tiap dini hari di bulan puasa, teman-teman selalu meneriaki saya
untuk ikut sahur. Malam harinya, mereka membawa nasi kotak dari Masjid dan
mengajak makan bersama.
Ketika
Idul Fitri, kami saling bermaafan dan saya selalu berkunjung ke rumah beberapa
teman atau berkumpul di sebuah rumah yang jadi tempat nongkrong kami. Di hari
Natal atau tahun baru, mereka memberi selamat dan datang makan di rumah saya.
Fenomena itu berlangsung nyaris tiap tahun.
Kedekatan
sejak kecil, membuat saya dan teman-teman melupakan banyak perbedaan. Kami
cukup mengenal kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saya, bersama mereka,
belajar untuk menata hidup yang baik, namun juga menyempatkan waktu untuk bolos
sekolah, belajar merokok, nonton bokep ketika rumah sepi, mencuri snack di mini
market atau ramai-ramai main judi di sebuah rental play station. Kalau saya
tidak salah menyimpulkan, kami adalah sekelompok remaja yang berulangkali gagal
menghindari dosa, tapi tidak pernah lupa bertobat.
Saya
juga mengenal Surabaya sebagai kotanya para penggila sepakbola. Ketika SD, saya
dan beberapa teman bercita-cita jadi pesepakbola profesional. Tak heran, jika
kami biasa menggiring bola di mana saja: terminal dan jalan raya yang aspalnya
setajam pecahan botol bir, lapangan paving, parkiran gereja atau halaman
sekolah di dekat pemukiman kami. Soal waktu, bisa kapan saja: pagi, siang,
malam atau dini hari. Anda bisa bilang, berikan pada kami sepuluh remaja, maka
kami akan segera bermain sepakbola.
Oh
ya, saya tidak mungkin melupakan Persebaya dan Bonek. Kesebelasan dan pendukung
fanatiknya ini jadi sesuatu yang identik dengan kota Surabaya. Sepakbola bukan
hanya sekedar hiburan, tapi kebanggaan bagi masyarakat kota. Bersatu dengan
puluhan ribu Bonek di dalam stadion, berarti memasrahkan diri dalam
euforia-euforia magis. Marah dan kecewa ketika tim kesayangan gagal menang,
tapi bahagia bersama dalam tiap gol.
Pada
2004, saya pernah merasakan itu. Di stadion Gelora 10 November, Persebaya harus
menghadapi laga pamungkas menghadapi Persija Jakarta. Menang adalah syarat
mutlak untuk juara. Di sisi lain, Persija cuma perlu skor imbang untuk
mengangkat piala.
Saya
merasakan histeria ketika Persebaya mencetak gol, namun menjadi kalut ketika
Persija membalasnya. Selama beberapa menit, rasa jengkel dan cemas bergelut
dalam pikiran. Tapi, di menit akhir, Persebaya berhasil mencuri gol. Stadion
berguncang, langit menjadi merah karena kembang api dan Bonek berteriak lupa diri.
Ketika
wasit mengakhiri pertandingan, saya menangis dan berpelukan dengan orang yang
tidak saya kenal. Kebahagiaan hari itu memang layak dirayakan dengan siapa
saja.
Ketika
SMP, saya mengenal Surabaya sebagai ruang bertumbuh musisi lokal hingga nasional.
Saat itu, beberapa di antara kami, cukup terobsesi untuk menjadi Dewa 19,
Boomerang, Power Metal, Padi, Tic Band hingga Saint Loco --- sejumlah band yang
berasal dari kota ini.
Namun,
pada tiap ajang pentas seni di sekolah, saya menyaksikan teman-teman SMP
memainkan musik dari band-band impor macam Limp Bizkit, Linkin Park, Metalica
atau Guns n' Roses. Saya bayangkan, ada begitu banyak remaja kota yang ingin
menembus industri musik nasional lewat kemampuan bermusiknya.
Saya
masih mempertahankan mimpi itu ketika beranjak ke bangku SMA: bikin band dan
merekam sendiri beberapa lagu ciptaan. Belakangan, jika mengingat lirik dan
lagu yang saya tulis, betapa malunya saya. Lirik yang saya tulis terkesan
murahan dan merendahkan kemanusiaan: laki-laki yang merasakan patah dan
menganggap dunia akan runtuh setelahnya, atau perasaan dicampakkan yang
bertahan hingga manusia bisa hidup di planet mars. Lagu? Tak perlu dijelaskan
panjang lebar. Anda bisa menebaknya setelah tahu bahwa saya adalah vokalis
band. Ah, sial sekali. Orang tak tahu diri itu adalah saya di masa lampau.
Ketika
tahun lalu kembali ke Surabaya, setelah 10 tahun kuliah dan kerja di Manado,
saya menyaksikan Surabaya yang berbeda tapi wajar. Teman-teman bermain sudah
banyak yang menikah dan menyibukkan diri dalam urusan-urusan kerja. Interaksi
kami tidak sedekat dulu. Namun, tiap bertemu, secangkir kopi bisa jadi mesin
waktu. Kami bisa dengan cepat kembali ke masa lalu dan membicarakan kekonyolan-kekonyolan
yang pernah dibuat.
Dari
perubahan-perubahan yang terlambat saya pahami, saya tahu, teman-teman saya
---apapun cita-citanya dulu--- tetaplah menjadi sekelompok orang yang berusaha
mempertahankan hidup dan masa depan yang lebih baik.
Maka,
ketika 5 bom mengguncang (salah satunya di Sidoarjo), pada Minggu dan Senin
pagi (13 & 14 Mei 2018), saya tahu pelakunya bukanlah teman saya: secara
interaksional maupun ide. Saya belum pernah mengenalnya dalam sejarah hidup
saya di Surabaya. Bukan, ini bukan soal orang dalam atau luar, orang asli
Surabaya atau bukan. Ini soal orang yang ingin menghancurkan, mempertahankan
dan membentuk hidup yang lebih baik.
Saya
tidak pernah mengenal Surabaya seperti yang saya tonton di televisi pada Minggu
dan Senin pagi. Surabaya, juga teman-teman saya di sana, selalu punya
cita-cita. Dan cita-cita itu, tidak bisa dibangun dengan bom, darah dan
kebencian. Tidak, seberapapun ambisusnya ide bom bunuh diri, tak ada cita-cita
di sana. Hanya pesimisme orang-orang yang berani mati, bukan berani hidup.
Tidak, itu bukan Surabaya yang saya kenal.
Nb:
Tetap semangat dan selalu waspada, kawan-kawan. Saya hanya menceritakan masa
lalu, karena saya tidak ingin terlalu banyak mempromosikan orang yang tidak pernah
dan tidak ingin saya kenal.
Salam
satu nyali: WANI!!!
***
sumber gambar klik di sini
0 comments