Bokeh: Ketika Dunia Punya Kita Berdua
July 17, 2017
Ada sebuah klaim yang sering ditujukan pada
sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta: “rasanya dunia hanya punya kita
berdua,” dengan tambahan, “yang lain cuma ngontrak!”
Lewat klaim tersebut, sepasang kekasih yang
sedang jatuh cinta, diasumsikan tidak mempedulikan situasi sosial di
sekitarnya. Aktifitas hormonal membuat mereka menikmati perasaan itu: menjadi
asing, kemudian melenyapkan persepsi orang-orang di luar dunia mereka.
Lalu, bagaimana jika dunia benar-benar
hanya diisi sepasang kekasih? Apakah rasanya masih akan seindah jatuh cinta?
Film Bokeh (2017) yang disutradarai Geoffrey Orthwein dan Andrew Sulivan seakan-akan menjawab pertanyaan tersebut. Film ini bercerita tentang Riley dan Jenai,
sepasang kekasih yang berwisata ke Islandia. Di sana, selama beberapa hari,
mereka menikmati hak-hak sebagai turis: bertemu orang-orang baru, mencicipi
kuliner lokal, menikmati keindahan alam dan, tentu saja, bercinta di tanah
asing. Uh, pe sadap sekali itu, eh!!!
Tapi, kegembiraan itu tidak bertahan lama. Ketika
bangun pagi dan hendak sarapan, mereka tak berhasil menemukan seorang pun
pelayan. Di luar hotel, tanpa sebab yang jelas, orang-orang menghilang, jalanan
sunyi, mobil-mobil terparkir tanpa pemilik, swalayan kosong melompong. Tak ada
polisi, rampok atau juga Presiden.
Situasi tersebut bikin mereka khawatir.
Mereka menduga, orang-orang telah diculik alien atau diangkat ke surga. Namun,
selama beberapa hari, penjelasan tentang itu sama sekali nihil. Riley dan Jenai
harus menerima kenyataan: dunia benar-benar jadi milik mereka berdua.
Seminggu berselang, secara tak sengaja
mereka bertemu dengan seorang tua yang agak ngos-ngosan,
batuk parah, dehidrasi dan kelaparan. Mereka sempat ngobrol, memberinya makan
dan minum, tapi tetap tanpa mendapat penjelasan berarti.
Keesokan harinya, orang tua itu meninggal. Riley
dan Jenai kemudian terlibat dalam perdebatan tentang perlu tidaknya menguburkan
jenazah. Bagi Riley, menguburkan orang mati adalah tradisi yang dilakukan manusia
dari generasi ke generasi.
Tapi, menurut Jenai, ketiadaan masyarakat bikin
tradisi itu jadi tak penting lagi. Tak ada beda meletakkannya di tanah lapang atau
memendamnya. Yang pasti, mereka kembali jadi satu-satunya pasangan manusia di
dunia.
Bokep,
eh, Bokeh seperti menghadirkan Riley
dan Jenai sebagai Adam dan Hawa, di zaman yang berbeda. Kedua pemeran itu, lahir
dan besar dengan sokongan moralitas yang telah melekat dalam diri
masing-masing. Hingga, secara tiba-tiba, mereka harus menyesuaikan dengan
suasana baru.
Sikap yang kontradiktif, secara gamblang, ditampilkan
kedua pemeran. Riley, pada satu pihak, menerima keadaan dan, karena itu, coba
menyesuaikan diri. Sementara, Jenai, di pihak berbeda, alih-alih coba bertahan
hidup, justru terlalu sibuk mempertanyakan “kenapa ini bisa terjadi?”
Boker, eh, Bokeh coba menawarkan sejumlah kemungkinan jika, secara tiba-tiba,
dunia jadi milik sepasang kekasih. Antara lain, pertama, tentu saja, melenyapnya
nilai dan norma masyarakat. Hilangnya nilai dan norma itu, seperti dikatakan
Riley, membuat “kita bisa jadi diri sendiri.”
Mereka tidak perlu memikirkan penilaian
orang tentang cara hidup. Mereka bebas bercinta di danau atau tidur di
rerumputan setelahnya. Mereka juga bisa seenaknya mengambil makanan di supermarket,
isi bensin dan mabuk di bar tanpa bayar (karena uang sudah tidak diperlukan),
serta tidur dari satu rumah ke rumah lainnya (karena tidak ada kepemilikan).
Konsekuensi kedua, mangkraknya rantai
produksi kapital. Situasi ini mengharuskan mereka untuk menyadari bahwa, pada
suatu saat, makanan di supermarket tidak lagi layak konsumsi. Jadi, mereka
perlu mulai menyediakan kebutuhan hidup sendiri. Riley telah coba memulainya
dengan membuat kincir air, untuk mendistribusikan air bersih ke tempat tinggal
mereka.
Konsekuensi ketiga, adalah meningkatnya
frekuensi komunikasi, terutama terkait cara mereka bertahan hidup. Sayangnya, film
ini terlampau depresif karena berputar-putar pada pertanyaan “kenapa ini bisa
terjadi?”
Maka, meskipun kedua pemeran bebas
mengunjungi tempat-tempat eksotis, penonton akan terus digiring untuk berharap
memperoleh jawaban “kenapa manusia di seluruh dunia bisa lenyap seketika?”
Saya juga sempat mikir, jangan-jangan, di
suatu babak akan muncul Lucifer. Lalu, kedua pasangan itu menyesali dosa-dosa
mereka, lalu muncul cahaya terang sebagai simbol penyelamatan dua makhluk fana
ini, lalu ada suara laki-laki yang menggema, lalu film berakhir, lalu penonton
bersukacita sambil teriak, “Puji Tuhan!”
Huh, untungnya tidak begitu! Sekali lagi,
ini film depresif yang antiklimaks. Jenai, bagaimanapun ditampilkan sebagai
seorang pemudi yang begitu merindukan rumah dan keluarganya. Ia bukan
Christpoher McCandless, yang menikmati kesendirian sambil membaca Tolstoy.
Barangkali, penulis skenario ingin merasionalisasi
bahwa, respon terhadap perubahan yang begitu cepat akan disikapi secara
berbeda. Antara menyesuaikan diri atau justru menjadi seorang yang putus asa.
Dalam kehidupan nyata, berada di dunia “yang
hanya ada kita berdua” berarti mengabaikan persepsi-persepsi yang mengganggu. Bahwa
konstruksi moralitas akan lenyap dan bisa tidak berlaku di “dunia kita”. Bahwa,
“kita”, sebagai satu-satunya pasangan di dunia, harus menyiapkan sendiri
cara-cara menjalani hidup.
Memasuki dunia “yang hanya ada kita berdua”
adalah memilih mandiri. Sehingga, nilai-nilai yang tidak sejalan dengan konsensus
“kita”, sudah selayaknya dihempaskan dari peradaban. Terlalu banyak
memikirkannya akan menghancurkan dunia “kita” secara perlahan-lahan.
Jadi, saya kira, pertanyaan “bagaimana itu
bisa terjadi?” merupakan bentuk penyangkalan pada dunia “kita berdua”. Seperti halnya
Jenai, yang berharap keadaan kembali seperti semula – yang hingga akhir cerita
tak terkabul – lalu menjadi putus asa.
Sebagai penonton yang ingin kejutan di
akhir cerita, saya justru memperoleh kekecewaan yang mendalam. Bukan karena
kegagalan keduanya, atau salah satu dari mereka, dalam menjalani hidup. Namun, justru karena kegagalan itu nyaris tanpa
perlawanan – selain terlalu banyak bertanya.
Jujur, Bokeh
sempat bikin saya bersikap seperti penonton sinetron: mengutuki
ketidakberdayaan Jenai – tapi dalam hati saja. Karena ketidakmampuannya
menerima kenyataan, film ini berakhir secara tidak seru.
Saya tahu, tidak semua cerita harus happy ending. Tapi, mengakhiri dunia “kita
berdua” tanpa perlawanan adalah menyebalkan!
0 comments