Matandoi dan Eksistensi saat Mati Lampu
November 30, 2015
Saya selalu mengenang Jacob tiap kali terjadi pemadaman listrik. Bukan
karena dia bekerja di Perusahaan Listrik Negara (PLN). Bukan, bukan. Ia bukanlah
seorang yang patut dipersalahkan atas pemadaman listrik bergilir di kota Anda.
Jacob adalah seorang kawan yang tinggal di desa Matandoi, Bolaang
Mongondow Selatan. Dari Manado, ibu kota provinsi Sulawesi Utara, desa tersebut
harus ditempuh sekitar 8 jam perjalanan. Sementara, dari kota Kotamobagu
jaraknya kurang lebih 3 jam.
Menuju ke desa tersebut, Anda akan menemukan lintasan yang tak akan
pernah ditemukan dalam balapan MotoGP. Saya pikir, Matandoi adalah desa yang
sering dilewati Ninja Hatori karena konturnya yang persis “mendaki gunung lewat di lembah”.
Kondisi geografis tadi bisa jadi sebab – mungkin juga alasan –
permasalahan listrik di desa itu, dan juga desa-desa sekitarnya. Pemadaman listrik
nyaris selalu terjadi tiap kali saya berkunjung ke tempat tinggal Jacob. Jika kata
bergilir ditambahkan, maka pemadaman itu berarti: siang nyala-malam mati,
ataupun sebaliknya.
Namun, permasalahan tersebut tidak membuat pegawai PLN terintimidasi
oleh status-status yang penuh hujatan. Reaksi kekesalan lebih kecil
dibandingkan dengan yang terjadi di kota-kota besar. Bukan berarti tak ada warga
yang ingin menumpahkannya di jejaring sosial. Hanya saja, keinginan tersebut
dibatasi oleh jangkauan sinyal telepon.
Jacob, misalnya, harus mendatangi suatu bukit agar bisa berkomunikasi
menggunakan telepon genggamnya. Kesulitan jaringan selular itu secara tidak
langsung melahirkan kepercayaan semacam: “Supaya dapat sinyal, handphone harus digantung pada sebatang
bambu atau kayu”. Agak lucu, tapi itulah faktanya.
Ok, kita kembali ke topik
semula: pemadaman listrik dan hubungannya dengan Jacob.
Dalam catatan ini, saya tidak akan terlalu banyak mengkritisi PLN atau
menjelaskan alasan-alasan pemadaman listrik di kota Manado. Saya sudah lelah,
dan bisa apa – pake atuh. Sebab,
hanya dengan mengenang Matandoi, emosi bisa lebih cair dan hati menjadi tenang.
Tapi, setelah kenangan itu habis, caci-maki akan kembali memainkan perannya.
Jujur saja, saya tak ingin merusak catatan ini hanya karena gagal
mengontrol emosi. Mati lampu selama 5 jam, baru-baru ini, agak memukul pikiran.
Tapi, itu tidak seharusnya menjadi alasan mengacaukan cerita soal Matandoi.
Ok, ok. Saya akan mulai
bercerita...
***
Pemadaman listrik di Matandoi adalah keheningan yang memukau. Tak ada
suara televisi ataupun barang elektronik lainnya. Hanya ada suara binatang
malam. Di langit, bulan dan bintang mengambil kembali peran untuk menerangi
malam – yang selama ini direbut cahaya lampu.
Dalam suasana hening, biasanya Ade menyuguhkan kopi hangat. Maklum,
semakin larut temperatur di Matandoi semakin dingin. Ade adalah istri Jacob. Ia
selalu baik saat saya dan teman-teman berkunjung ke sana.
Belum habis kopi sudah ada tawaran makan ikan bakar. Masakan Ade sangat
enak. Dabu-dabu (sambal khas Minahasa
dan sekitarnya) buatan Ade adalah hal lain yang juga patut dirindukan. Kami agak
sungkan dengan kebaikan itu, sebenarnya. Tapi mulut dan perut selalu gagal
membuat diri tak nampak rakus.
Nyam, nyam, nyam..
Dan kenyang.
Sungguh tak tahu malu!
Setelah makan, kami pindah ke beranda rumah. Kursi plastik dirapikan. Obrolan
tentang apa saja dimulai. Bisa soal negara, politik, kehidupan kampus, kerja,
seks, muara Angke, cerita soal masa lalu hingga membayangkan masa depan. Kami bercanda,
saling maki, lalu saling sindir.
Bicara-tertawa-bicara-tertawa.
Kurang lebih seperti itu skemanya.
Kemungkinan, hal tersebut bisa terjadi karena terbatasnya distribusi
listrik dan sinyal telekomunikasi. Tak ada yang sibuk dengan gadget. Tak ada pula yang gelisah dengan
pemberitahuan di Facebook, Twiter, BBM, Instagram, WhatsApp, Path, Line, dan
sebangsanya. Dan yang terpenting: tak ada yang protes.
Di Matandoi, keheningan menghadirkan cerita. Ia persis seperti yang
dikatakan Payung Teduh, “Sunyi ini merdu seketika.”
***
Di kota-kota besar, emosi lahir bersamaan dengan pemadaman listrik. Orang-orang
gelisah, cemas, merasa kehilangan sesuatu untuk dilakukan, lalu melancarkan
protes. Demonstrasi di kantor PLN jadi pilihan. Tuduhan ini-itu merebak. Berita
soal pemadaman listrik bergilir terbit di media lokal, nasional hingga
internasional – masih dengan nuansa yang penuh dengan kejengkelan.
Akibat lain, plesetan untuk menggantikan kepanjangan PLN pun dibuat,
yang paling populer misalnya ‘Perusahaan Lilin Negara’. Status-status di
jejaring sosial dipenuhi makian. Sejujurnya saya tidak bisa bayangkan bagaimana
rasanya menjadi pegawai PLN di masa-masa ini.
Keributan itu jelas punya alasan. Bagi banyak masyarakat kota,
teknologi seperti jadi kebutuhan dan menghadirkan perasaan tak mungkin hidup
tanpanya. Kondisi itu dipertegas oleh pergeseran ruang-ruang komunikasi: dari
interaksional menuju komunikasi digital.
Beberapa pekerjaan dan tugas kuliah harus diselesaikan dengan laptop, orang
mulai ramai berdiskusi di jejaring sosial, hingga hiburan yang hanya bisa eksis
dalam fitur-fitur teknologi. Itu sebabnya, pemadaman listrik bisa merampas
kehidupan manusia.
Saya juga sering mengalami kegelisahan itu: ketika habis baterai jadi
sebuah kutukan. Dunia bisa runtuh jika layar handphone dan laptop padam. Saya jadi emosional, mendekati gila. Teknologi
benar-benar menjadi sesuatu yang adiktif, apalagi ketika deadline kerja memburu. Di saat itu, sesuatu yang dimiliki bisa berbalik
memiliki manusia.
Padahal, kita lupa, beberapa kegiatan sebenarnya bisa dilakukan ketika
listrik padam – tentu saja di luar urusan kerja yang memerlukan bantuan laptop.
Di saat terjadi pemadaman listrik, sementara pekerjaan menumpuk, satu-satunya
hal yang bisa dilakukan adalah mengistirahatkan kepala. Rehat sejenak dan
sesekali menggerakkan badan, agar peredaran darah kembali lancar. Ini bisa
dilakukan, tentu saja, jika Anda sudah menyimpan pekerjaan sebelum laptop mati.
Jika listrik padam di saat tak ada kerja, hal yang bisa dilakukan adalah
meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan orang-orang terdekat. Membicarakan banyak
hal yang remeh tapi penting sebagai proses komunikasi. Bisa soal politisi yang
dijegal, kuliah yang tak kunjung rampung hingga mantan-mantan yang masih lekat
dalam ingatan.
Kita juga bisa membebaskan hiburan dari penjara teknologi. Sebab,
dalam ruang digital, hiburan adalah permainan yang bersifat individual. Dengan mengedepankan
interaksi, kita telah menjadikan hiburan sebagai sesuatu yang kembali bisa
dinikmati bersama orang-orang terdekat.
Bernyanyi dengan memainkan gitar bisa menjadi salah satu pilihan. Jika
suara Anda bagus, orang lain akan terhibur dan ikut bernyanyi. Jika suara Anda
kurang bagus, orang akan tertawa, namun tetap terhibur, lalu ikut bernyanyi
untuk memperbaiki nada.
Penyajian kegiatan alternatif tadi, tentu saja, bukan merupakan bentuk pembelaan terhadap PLN. Bagaimanapun,
konsumen berhak protes terhadap pemadaman listrik bergilir yang berulangkali
terjadi dalam kurun waktu relatif lama. PLN digaji untuk menyediakan listrik
bagi publik.
Mereka juga sudah tentu tahu, dan karenanya harus bekerja lebih baik,
bahwa banyak urusan publik saat ini bersinggungan dengan penggunaan alat elektronik.
Pemadaman listrik secara berulangkali sama halnya mempersulit proses kerja mayoritas
penduduk kota.
Hanya saja, kita perlu mengingat sesuatu: pemadaman listrik tak
seharusnya melenyapkan eksistensi kita.
0 comments