Obituari buat Didi
May 08, 2017
PERSONIL The Sotset berjalan sempoyongan. Beberapa jam sebelum dimulainya gig, mereka terlampau semangat meneguk
captikus – minuman para dewa itu. Alkohol bereaksi, kepala berguncang dan darah
mendidih.
Di atas panggung, masing-masing personil mulai memadukan nada gitar dan bass – kebiasaan lain yang tak kalah memakan waktu. Di posisi belakang, sang drummer melakukan pemanasan. Ia memukul snare, cymbals, hi-hat dan menginjak-injak pedal drum.
Malam itu, Gedung Kesenian Pingkan Matindas,
dihadiri ratusan pemuda-pemudi. Ada yang rambutnya mohawk warna-warni, tato di
sekujur tubuh, rantai dompet sebesar rantai kapal, hingga lubang tindik yang
setara diameter batu akik.
Banyak orang menyebut mereka punk. Tapi tidak semua individu punk menggunakan sebagian atau keseluruhan simbol-simbol tersebut.
Ada yang tidak merokok, tidak meneguk alkohol, tidak menggunakan tindik di
telinga dan tidak bertato.
Ruangan gig
miskin fentilasi. Namun, di dalamnya, ada sekitar 200 atau 300 orang berkumpul.
Mereka bergantian menghirup udara, asap rokok dan aroma captikus.
Distorsi gitar dan gebukan drum saat check sound bikin temperatur ruangan
makin mendidih. Personil The Sotset terlihat sesekali menempelkan telinga pada speaker gitar maupun bass. Dahi mereka
mengkerut. Jari memberi simbol khusus. Tandanya, nada kembali harus dipadukan.
Penonton tak terlampau menggubris aktifitas
itu. Mereka asik ngerokok dan menikmati captikus. Beberapa lainnya malah sudah
mabuk berat. Tergeletak di lantai atau bergegas keluar ruangan untuk memuntahi
rerumputan.
Ketika nada gitar dan bass dirasa sudah
padu, Didi – vokalis sekaligus basis The Sotset – mulai maju ke depan panggung.
Matanya, yang merah menyala, menguasai ruangan.
“Oioiiiii!!!” demikian Didi berteriak.
Penonton membalas seruan itu. Ruangan
bergetar. Izal menyambutnya dengan lengkingan gitar. Cecep tak mau ketinggalan.
Dia memukul setiap bagian drum tanpa ampun – seperti ketika tanpa kasihan
melumat habis bibir kekasihnya.
Di tengah-tengah keriuhan itu, Didi mulai berorasi.
Captikus membuat kalimatnya berputar-putar, mengulang-ulang. Lidahnya sering
kepleset saat menyebut huruf ‘R’. Tapi ia tak peduli. Didi terus saja ngoceh
sampai tak tahu lagi harus bilang apa.
Mendengar itu, penonton mulai bangkit menuju
depan panggung. Mereka sudah tak sabar ingin joget pogo.
Begitu “Revolusi” digeber, lagu yang juga
jadi andalan The Sotset, penonton langsung saling tubruk, saling sikut dan
saling tendang. Aksi itu adalah respon terhadap raungan musik cadas.
Pogo memang bukan goyangan yang bisa dilakukan sambil memegang sloki
anggur, lalu membisikkan kata cinta di telinga kekasih Anda. Melakukannya berarti menyatu dengan ketukan beringas
punk rock. Para penarinya akan saling
tubruk. Terjatuh, bangkit lagi dan kembali saling tubruk.
Meski demikian, kalau didengar telinga yang
bersih dari alkohol, The Sotset sesungguhnya tidak memainkan “Revolusi” secara
rapi. Tak sulit menemkukan kesalahan kunci, ketinggalan tempo atau vokal
kepleset nada.
Apalagi, Didi punya atraksi khas: berhenti
memetik bass di tengah lagu. Biasanya, Cecep yang paling terpengaruh. Ia
kehilangan panutan. Satu-satunya cara, adalah dengan mengandalkan intuisi
personal. Kalau belum cukup, ia akan memohon pada Tuhan supaya ketukannya tetap
stabil.
Bagi band dan penonton yang sudah kepalang mabuk,
harmoni nada bisa jadi nomor sekian. Yang penting goyang. Berhenti dan
memperbaiki kesalahan jadi sesuatu yang tak diharapkan.
Show must go on!
SAYA pertama kali bertemu personil The Sotset sekitar tahun 2011. Malam
itu, Terri, drummer The Sotset sebelum Cecep, mengajak dan mengenalkan saya
pada Didi dan Nixon. Ada Izal juga. Tapi, nampaknya, dia tak bisa ikut gigs. Sebentar lagi, Izal akan menyusuri
pesisir Sulawesi untuk kemudian menyebrang ke tanah Jawa.
Di sana, saya mulai mendengar lagu
“Revolusi” dimainkan. Nixon menyanyikan lagu itu dengan karakter suara
tebalnya. Tak begitu lama mereka berusaha mencocokkan nada dan
tempo. Sisanya, kami habiskan dengan ha-ha-hi-hi dan minum-minum.
Saya menyaksikan penampilan perdana The
Sotset, di Gedung Pingkan Matindas. Tiga personil naik ke atas panggung. Terri
berorasi. Musik digeber. Pengunjung saling tubruk.
Riset skripsi, kemudian, mendekatkan saya pada
mereka. Bukan, saya tidak meneliti musik, tapi tentang reklamasi pantai di
Sario Tumpaan. The Sotset, secara individu dan grup, terlibat dalam penolakan
itu. Ide tentang riset nelayan dan reklamasi juga datang dari Terri.
Pada tahun 2012, Terri mengajak saya ke
Daseng Panglima dan memperkenalkan dengan beberapa nelayan tradisional di sana.
Ternyata, salah satu nelayan yang harus diajak wawancara adalah Didi. Dalam
riset itu, dia menjadi representasi pemuda yang berprofesi sebagai nelayan,
sekaligus menolak reklamasi pantai di Sario Tumpaan.
Persoalannya, informan satu ini, bukanlah
orang yang banyak bicara. Untuk itu, saya memutuskan bermalam di Daseng,
sekretariat Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulawesi Utara. Membeli satu
paket captikus dan menawari Didi.
“Minum, bro?”
“Boleh,” jawabnya.
Kami bicara santai, belum menyinggung
topik-topik reklamasi. Saya masih menunggu efek yang akan ditimbulkan alkohol.
Indikatornya kepleset lidah, frekuensi bicara dan kecepatan mengeluarkan
kata-kata. Singkat cerita, momentum itu tiba juga. Saya langsung to the point.
“Bisa kita
(saya) wawancara untuk skripsi, bro?”
“Ah, ngana
so dapa ley noh!”
Didi merasa dikerjain. Tapi, saya katakan,
santai saja. Seperti ngobrol biasa. Dia sepakat dan kami mulai membicarakan
keterlibatannya dalam penolakan reklamasi di Sario Tumpaan.
Kepada saya, dia bilang, “Kita nda sering iko diskusi. Mar, kalau ada aksi, kita pasti turun.”
Menurut Didi, reklamasi pantai membikin
masyarakat sekitar, terutama nelayan, jadi semakin susah. Karang rusak, ikan
semakin jauh, pengeluaran bertambah dan pendapatan menurun. Selain itu,
pengembang telah melanggar perjanjian damai para pihak.
“Buat kita, kalau torang pe belanga dapa kore, berarti, musti malawang!” serunya.
Kami bicara sepanjang malam. Hingga paket
captikus ludes. Seiring waktu, saya menyaksikan secara langsung peranan Didi
dalam menggalang solidaritas. Ia mengajak teman-temannya di komunitas punk, dan
menarik simpati individu-individu pecinta alam di Sulawesi Utara.
Setidaknya, beberapa kegiatan untuk menyuarakan penolakan reklamasi
pantai pernah dibuat di Daseng. Penggasnya anak-anak muda. Ya, komunitas punk,
ya, individu pecinta alam, ya, mahasiswa, ya, orang-orang yang tidak masuk kategori itu.
“Torang,
di party punk, sering ma nyanyi lagu perlawanan. Makanya, kita
ajak anak punk iko solidaritas. Bagitu juga deng
tamang-tamang pecinta alam. Pantai ini juga alam. Bukan cuma gunung, toh?”
kata Didi.
Selain musisi, punkers dan nelayan, Didi
juga pecinta alam. Dia dulu ikut mendirikan KPA Mangrove. Karena itu, dia punya
banyak sebutan, Didi “mayana”, Didi “Sotset”, Didi “Daseng” atau Didi “Mangrove”.
Pada beberapa tahun silam, dia ingin membuat
komunitas pecinta alam di Daseng. Namanya, KPA Gunung dan Laut, yang tak kunjung terealisasi. Penamaan ini,
untuk membuka wawasan pecinta alam, bahwa yang dimaksud alam bukan hanya
gunung. Laut juga bagian dari alam.
Karena cinta alam, Didi menolak reklamasi. Dia
tak ingin alamnya disakiti.
DALAM kurun 2012 hingga, setidaknya, tahun 2016, saya menyaksikan
pemanfaatan Daseng Panglima, sekretariat Antra Sulut, bukan hanya sebagai
simbol penolakan reklamasi, tapi juga ruang untuk mempraktikkan demokrasi.
Penghuni Daseng, sebagian besar didominasi
pemeluk agama Islam. Namun, ketika mereka sedang berpuasa, mereka memberi makan
orang-orang yang tidak puasa di siang hari. Makanan itu diambil dari rumah
menantu Didi, yang tak jauh dari Daseng.
Kami, beberapa orang yang tidak puasa,
merasa kurang enak. Kami biasa merokok di belakang Daseng atau bergerak ke
tengah pantai. Ketika makanan tiba, Didi atau Dewi, Om Pony atau Tante Dada,
langsung menyuruh kami makan. Saya, tentu saja, malu. Meski demikian, secara
diam-diam, tetap mengambilnya dan menuju ke tempat tersembunyi.
Pernah suatu kali, saya bentak teman yang
merokok di hadapan orang-orang yang sedang puasa. Didi senyum. Lalu bilang,
“Biasa aja, Them. Nggak pa-pa, kok!”
Saya diam. Masih memendam kesal, dan tak
habis pikir. Mereka puasa, memberi makan (pada yang tidak puasa) dan santai
ketika cobaan hadir di depan mata. Sementara, di tempat lain, televisi
menyiarkan razia warung makan yang buka di bulan puasa.
Malam Natal tahun lalu juga agak aneh,
setidaknya buat saya. Ketika orang-orang Kristen pada umumnya masuk gereja dan
memanjatkan doa, saya lebih memilih datang ke Daseng. Ha-ha-hi-hi dan
minum-minum. Tepat pukul 00.00, kembang api mewarnai langit. Orang-orang
membakar uang. Saat itu, orang-orang Daseng menyalami saya.
“Selamat natal, bro!” kata Didi.
“Nggak haram, bro?” saya tanya. Bercanda.
Didi tak membalas. Dia hanya tertawa, lalu
bilang, “Besok bawa alkitab, bro.”
Dahi saya mengkerut. Bingung.
“Nggak punya.”
“Nanti aku cariin deh.”
“Untuk apa?”
Didi menjelaskan, bahwa menantunya akan
bikin open house untuk merayakan Natal. Mereka sudah beli kue dan bir kaleng.
“Besok kamu jadi MCnya, ya!”
Saya tertawa terbahak-bahak. Bercandanya
sudah kelewat lucu. Saya tak menanggapi, lagi pula, malam ini akan mabuk berat
dan kecil kemungkinan bangun pagi.
Tapi, suasana malam itu, jelas memberi
kejutan pada saya. Didi, juga orang-orang di Daseng, memandang perteman secara
murni. Melihat manusia sebagai manusia. Makanya, jika ada diskusi-diskusi
tentang demokrasi, pluralitas dan keberagaman, saya akan selalu ingat orang-orang di Daseng. Ingat Didi.
Tahun
2015, Didi punya vespa baru. Warnanya biru.
Beberapa bulan dia membawanya mengelilingi kota Manado. Barangkali, perjalanan
paling jauh ke Aermadidi, Minahasa Utara atau ke kota Bitung.
“Vebi, namanya. Vespa biru,” kata Didi.
Saya lihat dia senang sekali dengan mainan
barunya. Tiap ke Daseng, saya nyaris selalu lihat Didi mengutak-atik vespa.
Saya tahu, dia belum begitu paham. Dia banyak berkonsultasi dengan Arek, kawan
yang kini tinggal di Solo.
Saat itu, saya bilang, dalam waktu dekat
akan ke Bolaang Mongondow Selatan. Ada evaluasi Program Mangrove For the Future. Ketika mengetahui rencana saya, Didi
langsung menawarkan diri untuk ikut.
Sebelumnya, dia pernah datang ke desa
tersebut dan memberi pelatihan alat tangkap ramah lingkungan, pada nelayan
setempat. Saya ingat, betapa antusias nelayan melihat alat-alat yang Didi bawa
dari Manado. Malahan, beberapa alat tangkapnya diminta nelayan.
“Buat saya, ya, pak?”
Didi senyum. Agak bingung, tapi merasa tidak
enakan.
“Iyo, pak. Boleh. Cuma ini sih, kita punya. Mar ambe
jo. Nanti kita bekeng ulang,”
kata dia, saat itu.
Honor memberi pelatihan itu, kalau tidak
salah, juga digunakan untuk membeli vespa.
Sekitar jam 6 pagi, kami berangkat. Didi
menggunakan jaket berwarna merah dan membawa galon kecil untuk bensin cadangan.
Waktu tempuh Manado hingga desa Deaga,
sekitar 8 jam, menggunakan mobil. Jadi, dengan vespa, kami perkirakan akan tiba
di sana menjelang malam. Didi khawatir, lampu vespanya tak mampu menerangi
tikungan tajam di Bolaang Mongondow Selatan. Jadi, kami sepakat untuk menginap
semalam di desa Doloduo, Bolaang Mongondow.
Kami tiba di desa Doloduo sekitar pukul 4
sore. Bermalam di rumah kerabat Didi. Besoknya, pukul 6 pagi, kami melanjutkan
perjalanan menuju desa Lungkap, Bolsel, dan tiba di sana sebelum pukul 9 pagi. Yakob
telah menunggu, dan tersenyum menyambut kami.
“Gila ngoni
eee. Datang kemari naik vespa!” kata Yakob, sambil tertawa heran. Yakob
kemudian, mempersilakan duduk, membuatkan kopi lalu menawari makan.
“Sudah
jo, nda biasa makan pagi kita. Kopi jo,” balas Didi.
Kami ngobrol sambil ngopi, kemudian
melanjutkan perjalanan hingga desa Matandoi. Vespa sempat mogok di sebuah tanjakan. Saya melompat dan segera menahannya
dari belakang, supaya tak tergelincir mundur. Didi menginjak stater, vebinya
kembali meraung. Satu jam kemudian kami tiba di desa Matandoi, minum kopi dan
kembali bermalam di sana.
“Ini kita pe touring pertama. Cuma macet di tanjakan tadi, noh,” terang Didi
pada Yakob.
Saya bangga mendengar itu. Setidaknya,
dengan menggunakan vespa jenis apapun, saya orang pertama yang menempuh
perjalanan jauh bersamanya.
Pagi-pagi sekali, ketika hendak menuju desa
Deaga, vespa tidak mau nyala. Didi sudah berulang kali menggebernya tapi
percuma. “Pemar ley. Riki so kram ni
hole-hole.”
Dia kemudian ingat sesuatu. Ada bagian mesin
yang seharusnya menjadi penutup lubang. “So nda ada ni tutup
noh,” kata Didi. Dia ingin menghubungi Arek, tapi jaringan komunikasi di desa
Matandoi tak memungkinkan.
Didi lalu mengajak saya mencari tutup mesin
itu hingga ke pantai. Sehari sebelumnya, kami memang menikmati suasana pantai
di desa Matandoi. Dia yakin, alat tersebut jadi di sana.
Kami berjalan sambil menunduk untuk menatap
aspal. Mondar-mandir, hingga 3 kali. “Rupa
cari mushroom di aspal ini, bro,”
saya bilang. Didi tertawa, tapi tetap putus asa. Sekali lagi, dia otak-atik
vespanya lalu menggeber sambil memaki, dan... “trong, tong, tong, tonggggg...”
Mesin vespa nyala. Saya juga ikut memaki,
sambil tertawa terbahak-bahak. Didi lega, tapi dia yakin ada bagian vespa yang
hilang. “Ini depe bunyi masih aneh, dang. Coba ngana dengar.”
Saya mengiyakan, walau tak begitu paham. Belakangan, kata Arek, penutup yang dimaksud Didi tidak punya pengaruh.
Kami lalu menuju desa Deaga, dengan beberapa kali mogok. Begitu tiba di sana, saya mengikuti evaluasi sebentar. Lalu, kami beramai-ramai, mengelilingi desa untuk menyaksikan hutan mangrove.
Kami lalu menuju desa Deaga, dengan beberapa kali mogok. Begitu tiba di sana, saya mengikuti evaluasi sebentar. Lalu, kami beramai-ramai, mengelilingi desa untuk menyaksikan hutan mangrove.
“Kalian ini nekat bener,” kata mas Sugeng,
perwakilan MFF.
Saya kira, kenekatan itulah yang membuat Didi,
pada kemudian hari, memahami vespa dengan lebih baik. Ia cepat belajar, dan
juga lebih sering memacu vespanya hingga ke Gorontalo.
Tak hanya itu, setahu saya, Didi juga yang
menjangkiti pemuda-pemuda Daseng untuk beli vespa. Dia lalu berencana membuat sebuah
komunitas bernama Ofulaut atau bikin bengkel vespa.
Ya, saya kenal Didi dengan berbagai latar
belakang: musisi, anak punk, pecinta alam, nelayan, dan anak vespa.
Jika semua itu dijadikan satu, Didi adalah sahabat baik saya.
DEWI, istri Didi, menelpon saya dari akun facebooknya pada Sabtu pagi
(6/5/2017). Dia langsung bilang, “So dengar kabar, Them?”
“Kabar apa?”
Perasaan saya agak tidak enak, tiba-tiba
kacau. Tapi saya tak mau menarik satu kesimpulan pun.
“Didi ada orang tikang tadi subuh.”
“Bagaimana depe keadaan, Dew?”
“Sekarang lagi dioperasi.”
Pikiran saya semakin kacau, dan bingung
menyusun kalimat. Saya khawatir mengeluarkan
pertanyaan bodoh macam, “semoga dia tidak pa-pa” karena pada kenyataannya Didi
sedang dioperasi. Lalu, saya alihkan pertanyaan.
“Depe
pelaku so dapa tangka, Dew?”
Dewi lalu menjelaskan persoalan. Tapi, saya
tidak begitu menangkap maksudnya. Saya mendengar, tapi otak terus bekerja
secara membingungkan. Yang bisa saya pahami, akar persoalan masih dicari tahu.
Karena, subuh itu, Didi tidak membuat suatu masalah apapun.
Saya menghubungi Lulu, pacar saya, dan
memintanya untuk datang ke rumah sakit. Saya juga menghubungi beberapa kawan di
luar Manado. Pada saat-saat membingungkan itu, kak Yaya, menelpon.
“Them, Didi dapa tikang, kata?”
“Iyo, kak Yaya. Kita baru ditelpon Dewi.”
“Pemai
dang. Ada masalah apa so?”
“Nda
ada kata, kak. Itu pelaku tikang kong lari.”
“Pemai,
dang.”
Saya bayangkan, kak Yaya mengatakan itu dengan mata berkaca-kaca dan keinginan untuk meremukkan kepala pelaku penikaman.
Saya bayangkan, kak Yaya mengatakan itu dengan mata berkaca-kaca dan keinginan untuk meremukkan kepala pelaku penikaman.
Beberapa jam kemudian, saya menghubungi
Terri dan memperoleh informasi, bahwa Didi telah selesai operasi. “Tinggal
tunggu pemulihan. Dokter bilang, dia kuat,” kata Terri.
Saya lega. Lalu, memutuskan untuk tidur
lebih cepat dari biasanya.
Begitu saya bangun, Minggu (7/5/2017), sekitar
pukul 11 Wib, Lulu menelpon.
“Beb, so dengar kabar?”
“Beb, so dengar kabar?”
“Kabar apa?”
“Kak Didi meninggal!!!”
Saya kaget bukan main.
“Serius? Dengar dari mana? Tunggu dang, kita telpon pa Dewi!”
Saya coba telpon Dewi, tapi nomornya sibuk. Saya telpon Terri, lalu mendengar suara beratnya.
"Iyo, Them. Kita baru mau ke rumah sakit."
Saya masih agak ragu dan perlu dengar kabar dari orang di rumah sakit. Lalu, sekali lagi saya menelpon Dewi.
“Serius? Dengar dari mana? Tunggu dang, kita telpon pa Dewi!”
Saya coba telpon Dewi, tapi nomornya sibuk. Saya telpon Terri, lalu mendengar suara beratnya.
"Iyo, Them. Kita baru mau ke rumah sakit."
Saya masih agak ragu dan perlu dengar kabar dari orang di rumah sakit. Lalu, sekali lagi saya menelpon Dewi.
“Dew, betul kata itu berita?”
“Betul, Them. Tadi jam 12 dia meninggal.”
Saya menangis ditelpon, dan hanya bisa
bilang, “Nda sangka, eh, Didi.”
Di telpon itu, saya dengar Dewi juga
menangis dan bilang, “So siksa kasiang dia, Themmy!”
Saya masih menangis, dan tidak bisa percaya.
Didi meninggal di usia yang terbilang muda. Masih banyak yang bisa dan ingin
dia buat. Saya ingat, beberapa waktu lalu dia telpon dan bilang mau bikin mini
album buat The Sotset.
“Kapan ngana
pulang? So kangen kita,”
“Nah, ini kita so di rumah,” jawab saya bercanda.
“Ke Manado maksudnya.”
Saya bilang satu-dua bulan lagi. Lihat kondisi.
“Ayo ke mari jo. Bulan April ada CSP (Celebes
Scooter Party) di Gorontalo. Kong
Mei ada party punk. Kong kita bicara deng Cecep mo bikin mini album. Ke mari jo.”
Didi bicara cepat. Kalimatnya berputar-putar
dan mulai kepleset menyebut huruf ‘R’. Sejurus kemudian, Cecep menyaut, “Ke
mari, bro. Fuck, kita so kangen pa ngana!”
“So mabo ngoni kang?” tanya saya sambil
ketawa-ketawa.
“Nyanda,
cuma minum sadiki ini, deng Cecep.”
“Wih, so
kangen kita mabo deng ngoni noh!”
Percakapan itu dan berbagai memori datang
ketika Didi sudah pergi. Saya tahu, dia masih punya beberapa atau mungkin juga
banyak keinginan. Tapi, pembunuh itu menghancurkan semuanya.
Saya tidak peduli siapa pelakunya. Saya hanya
tak habis pikir, kenapa seseorang bisa dengan mudah menghunuskan pisau tanpa
memikirkan konsekuensi-konsekuensinya? Kenapa seseorang bisa mengambil nyawa
yang tak pernah bisa diciptakannya?
Saya sedih dan emosi. Saya teringat
kisah-kisah betapa bangganya orang-orang yang keluar dari penjara. Saya ingat
skripsi Nono, yang menggambarkan kehidupan di dalam penjara. Saya ingat
absurditas Albert Camus, yang menyatakan, “Seorang yang bisa hidup sehari di
penjara, akan bisa hidup seratus tahun di sana.”
Bisa jadi itu salah. Tapi, apakah hukuman bertahun-tahun penjara
akan setimpal? Saya kira, tidak. Berapa lama pun dia dikurung, tidak akan
mungkin mengembalikan nyawa yang sudah dihilangkannya.
Saya khawatir dengan pikiran-pikiran
itu. Emosi yang bergejolak membuat segalanya lebih kacau.
Saya masih tak percaya.
Di lini masa facebook, orang-orang membagikan kenangan, cerita dan foto. Saya membaca semuanya. Dari situ saya tahu, ada begitu banyak orang yang menyayangi Didi. Banyak orang yang tak percaya dia pergi. Banyak orang yang kehilangan seorang kawan baik. Banyak. Tapi, hanya ada seorang bebal yang memisahkannya dari kami semua.
Di lini masa facebook, orang-orang membagikan kenangan, cerita dan foto. Saya membaca semuanya. Dari situ saya tahu, ada begitu banyak orang yang menyayangi Didi. Banyak orang yang tak percaya dia pergi. Banyak orang yang kehilangan seorang kawan baik. Banyak. Tapi, hanya ada seorang bebal yang memisahkannya dari kami semua.
Saya sedih tak bisa melihat wajah sahabat
baik saya untuk terakhir kali, menyentuh pipinya dan membisikkan sesuatu di
telinganya. Saya sedih tak bisa menyaksikan prosesi pemakamannya.
Tapi saya bangga pernah hidup bersamanya.
Selamat jalan, Didi.
0 comments