Seperti Bulevar di Malam Hari

July 29, 2022




Seakan sepi tak pernah menyusup etalase swalayandan papan reklame tak terampil mempromosikan kalimat putus asa.

I
 
Menunggumu adalah teror sebelum pagi, juga ancaman yang menunda mimpi...
 
Aku tahu tak ada yang bisa hentikan gerak alkohol di ceret kerdil itu – seperti halnya dinamika ombak di samping telinga. Tapi kau perlu tahu, aku merindukanmu macam rokok yang perlu asap dan bicara yang butuh kata. Seperti tidur yang perlu mimpi, seperti kreasi yang mati di luar imajinasi. Sebab rindu telah menyekap hasrat dalam dada. Dan ketukan nafasku kini seperti bulevar di malam hari: sepi, nyaris mati.
 
Pulanglah cinta. Aku tak bisa tidur tanpa memegang tangan kananmu!
 
 
2013(?)
 
II
 
Detik berdebar di tepi bulevar, kemudian sepi jadi serpih, dan hidup dibentang dari batu yang bukan karang. Sementara aku menatap teluk yang berulang kali remuk: membayangkan sesuatu yang kelak jadi artefak. Sebab waktu menancap tugu di atas timbunan masa lalu, yang dulu berbaris terumbu juga sudut untuk bercumbu.
 
Angin berlarian melintasi lekuk sungai kering, hingga tiba di sudut kota sebagai tanda yang agak pesing. Selanjutnya hanya ada melankoli: surut yang membawamu pergi bersama kabut, pasir putih juga pantai yang tak landai. Bahkan ombak yang kita kenang nanti jadi buih yang lekas hilang.
 
Dan pada suatu pagi kita mengerti: hantu laut tak akan ada lagi​.

*

Aku dengar suara purba memanggilnya mama, tapi sekarang kita hanya punya legenda. Karena laut tak minta ganti yang hilang darinya, dan ombak enggan cerna segala yang sia-sia. Kita juga akan ke sana bersama seluruh laut dalam tubuh, dan meninggalkan waktu hingga serpih kembali jadi sepi.
 
Atau ada yang tenang ikuti ikan-ikan karang: di mana ceruk keindahan tak bisa pisah dari kehidupan?​

*

Akhirnya aku tak mencegahmu ketika harus jadi arcus. Dan kau tak bisa menahanku: hujan asing di laut hening.
 
 
Agustus 2020
 
III
 
Pukul delapan malam...
 
Lalu-lintas mengurai tubuhnya, sedangkan kota menjadi belantara beton yang berpura-pura tabah. Seakan sepi tak pernah menyusup etalase swalayan, dan papan reklame tak terampil mempromosikan kalimat putus asa. Atau bulevar yang tampak muram sebenarnya hanya simpatik pada kita, yang belum menemukan kata untuk menggantikan “selamat tinggal”?​

Karena mengatakan “kita akan baik-baik saja” hanyalah basa-basi yang mungkin akan mengganggu telingamu. Sebab kita tahu, langit sedang melipat halaman terakhir dari lembar-lembar malam di mana kau pernah menandai suatu bintang dengan namaku, dan aku pernah menemukan deskripsi alam semesta dari sepasang matamu.
 
Tapi sekarang, segala yang pernah hanya berarti sudah. Dan ribuan hari yang penuh retorika mesti bungkam di malam yang tak cukup penjelasan.

Karena pada pukul delapan malam, aku harus melepasmu dari dekapan.
 
 
Desember 2020
 
IV
 
Batu-batu buta​ membantai pantai​. Kapal-kapal kalap​. Kalut membalut​ laut. Di antara daseng dan bunyi seng​. Di antara pasir​ dan pesisir.
 
Di sana​ patung berdoa​, pada tuhan​ yang entah.


Januari 2022

*
Sumber ilustrasi klik di sini

You Might Also Like

0 comments