Seakan-akan Best Man Speech tentang Alan

March 04, 2023


Catatan ini dibuat dengan alur melompat-lompat karena masalah daya ingat.

*

Aku kenal Alan di pertengahan 2012. Kami bertemu di tepi pantai yang disembunyikan alang-alang – yang tingginya nyaris 2 meter – dan ditumpuki paku bumi. Kami menyebutnya ‘Olympus’. Aku lupa siapa yang memberi nama itu. Yang jelas, kami (beberapa mahasiswa karatan di Fisip Unsrat) seakan percaya bahwa orang-orang yang berkumpul di sana adalah kumpulan individu-individu dewa.

Belakangan, aku pikir, kepercayaan itu tidak lebih dari sekadar respons atas tumbuhnya semangat indie, kopi dan senja, yang oleh seorang musisi kemudian disebut sebagai taik anjing (wkwkwkwk). Oh, tapi jangan berkecil hati gaes, taik anjing juga punya peran penting terhadap eksitensi anjing itu sendiri. Kalau enggak bisa berak, mana ada anjing yang menjadi teman baik manusia hari ini?

Oke balik lagi ke awal perjumpaan dengan Alan.

Ketika itu, Alan masih berstatus mahasiswa baru dengan kepala plontos, badan ceking dan tidak begitu banyak bicara. Aku tidak begitu ingat bagaimana dia bisa berkumpul bersama kami, atau siapa yang mengajaknya.

Ingatan tentang itu memang hanya sekelebat saja. ... yang lebih panjang dan lekat, kemudian, adalah persahabatan.

*

Tidak berselang lama dari momen perjumpaan di ‘Olympus’... Di Daseng Panglima, Sekretariat Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulawesi Utara, berlangsung pelatihan paralegal untuk nelayan. Alan yang masih berkepala plontos hadir di situ. Aku kaget (atau justru aku yang mengajaknya, aku lupa), tapi aku tahu dia seorang pemuda dari suatu kampung nelayan.

Di akhir pelatihan, aku memberinya beberapa eksemplar materi diskusi. Aku hanya sedikit berharap – benar-benar hanya sedikit sekali – dia membacanya di rumah, kemudian mendiskusikan dengan teman atau nelayan setempat.

Beberapa hari setelah pelatihan paralegal untuk nelayan, kami berjumpa di kantin kampus. Aku menanyainya tentang materi yang sudah dia bawa pulang: apakah dia baca, diskusikan atau apapun perlakuannya. Kemudian dia menyebutkan suatu jawaban yang sangat di luar dugaanku, “Aku fotokopi materi itu lalu kubagikan pada nelayan-nelayan di kampung,” kata Alan.

Bangsat, pikirku. Saat itu aku tahu, aku bertemu dengan seorang yang energik dan penuh semangat.

Belum berhenti sampai di situ. Beberapa waktu kemudian, Alan bahkan sempat mengorganisir nelayan-nelayan di kampungnya untuk melawan privatisasi laut.

Begini cerita singkatnya. Beberapa kilometer dari kampungnya, terdapat sautu hotel yang membangun pemecah ombak untuk melindungi perahu-perahu pariwisata. Tapi, ketika perahu-perahu nelayan bersembunyi di balik konstruksi bebatuan itu, sekuriti hotel mengusir mereka. Ini yang jadi pangkal masalahnya.

Ketika aku mengajukan pertanyaan soal alasan dia mengorganisir nelayan untuk melawan pengusiran itu, Alan yang kepalanya masih plontos menjawab, “Pemecah ombak itu memang punya mereka. Tapi air dan laut tidak!”

Weeehhh, bravooo!

*

Alan kemudian bergabung di Lembaga Pers Mahasiswa Inovasi. Sebelumnya, dia sudah menjadi anggota Depot Seni Fisip Unsrat. Itu berarti, kami akan lebih sering bertemu dan ngobrol banyak hal.

Aku ingat betul, di Inovasi, Alan adalah salah seorang yang punya progres cepat. Dia tertarik fotografi, menekuninya hingga punya kemampuan mendokumentasikan gambar yang ajaib. Aku mungkin tidak berlebihan di sini. Karena, waktu masih kuliah, dia sempat ditawari jadi fotografer di salah satu kantor berita nasional biro Sulawesi Utara. Tapi dia menolak, karena tidak mau sudut pengambilan gambarnya diatur-atur. Ah, ya sudahlah, ya.

Kemampuan dan minat fotografinya itu lalu membuatku berkali-kali mengajaknya jalan-jalan sambil liputan. Yang paling aku ingat, aku mengajaknya ke Miangas untuk mengikuti selebrasi Manam’mi – penangkapan ikan tradisional masyarakat di pulau itu.

Awalnya Alan ragu untuk ikut, karena momen itu sangat dekat dengan jadwal ujian semester. Tapi aku membujuknya dengan mengatakan, ujian semester selalu ada di tiap semester. Sedangkan kesempatan mengunjungi Miangas, belum tentu terjadi di lain waktu.

Bujukanku berhasil. Dia minta izin ke orangtuanya, aku tidak tahu apa alasannya. Hingga, akhirnya, kami sukses menginjakkan kaki di salah satu pulau perbatasan Indonesia-Filipina.

Nih, kami selfie di puncak Pulau Miangas


Ingatan lainnya, kami juga pernah bersama-sama mengunjungi Taman Wisata Alam Batuangus dalam momen perayaan “Festival Batuangus”. Waktu itu aku mengajaknya karena butuh transportasi dan joki. Kali ini Alan tidak banyak pikir, dia langsung mengiyakan. Aku menyewa mobilnya, sekaligus menjadikannya sebagai pengemudi.

Bonus dari perjanjian itu, kami punya kesempatan bertamasya dan tinggal di suatu penginapan pribadi yang luas tanahnya lebih besar dari lapangan sepak bola, dengan Selat Lembeh sebagai pemandangan dari beranda rumah. Di sana, kami menghabisi malam dengan minum beberapa kaleng bir bintang, sambil lihat bintang sungguhan dan mendengar debur ombak.

Setelah dari Batuangus, kami kemudian mengunjungi Batuputih. Ini barangkali bukan kunjungan pertama buat Alan. Tapi ketika itu aku bilang ke dia untuk ganti baju dan jangan menggunakan warna merah, karena yaki (monyet hitam sulawesi) akan menjadi agresif dan menganggap orang berbaju merah sebagai lawan yang mesti dihabisi, Alan percaya. Dia cepat-cepat ganti kaos yang sama sekali tidak memiliki warna merah.

Sepulang dari sana, aku jujur padanya, bahwa aku hanya mengarang cerita soal yaki dan kaos merah.

Alan ketipu, kan? wkwkwkwk

*

Beberapa kali, ketika Alan sedang gundah, dia mengajakku ke rumahnya untuk ngobrol apa saja. Tapi yang paling sering, ketika aku perlu tempat nyaman untuk minum, aku selalu mengajaknya ke rumahnya (mengajaknya ke rumahnya, pilihan kalimat yang memang sangat tepat).

Seiring waktu, terdapat beberapa tempat yang pernah jadi ‘bar darurat’, misalnya pelataran belakang rumah, depan rumah, samping rumah, kamar tidurnya, pagar beton di batas pantai, suatu pantai yang sudah jadi aset pribadi politisi lokal, atau pantai lain yang katanya horor.

Pada suatu ketika, Alan sempat bilang, bahwa ayahnya melarang anak-anak di kampung itu mabuk-mabukan di sekitar rumahnya. Aku kaget, dan ragu meneguk sloki di teritori yang sudah dia sebut. Tapi Alan bilang, peraturan itu dikecualikan untuk teman-teman dari kampus. Oh, ya sudah, aman kalau begitu, pikirku (wkwkwkwk).

Oke, tapi bukan itu poin utamanya.

Tiap kali aku berkunjung ke rumah Alan, keluarganya memang sangat, sangat, sangat ramah. Membuatkan ikan hasil tangkapan dengan bermacam-macam bumbu, yang sangat, sangat, sangat enak. Rumahnya, juga menjadi tempat pelarianku ketika keuangan sedang bergejolak. Pada tahun 2018, contohnya, ketika aku kembali ke Manado, rumah Alan lah yang menjadi tempat transit (tapi dalam kurun nyaris 1 bulan). Alan juga hampir selalu membuatkanku kopi untuk melancarkan adrenalin.

Seturut pengalaman melewati waktu di rumahnya dan bertemu beberapa orang di lingkungannya, aku mendapati kesan bahwa Alan adalah seorang influencer di kampungnya – apalagi menyangkut ayam dan sepakbola. Banyak orang di kampungnya, juga dari kampung-kampung sekitar, manjadikannya semacam konsultan untuk dua topik tersebut.

Terakhir kami bertemu, dia sedang bersemangat mengajak pemuda-pemuda di sana untuk diskusi dan baca buku. Nyaris tiap malam mereka kumpul di kamarnya dan membicarakan banyak topik. Suara Alan selalu menggebu-gebu ketika menceritakan aktivitas yang disebut terakhir (dua kegiatan yang disebut awal juga semangat sih sebenarnya).

Aku rasa, Alan memang selalu menggebu pada hal-hal yang dia suka.

*

Aku kembali melewati beberapa hari di rumah Alan ketika dia sedang dalam proses merampungkan skripsi. Waktu itu, Alan bilang tidak mau bikin skripsi yang biasa-biasa. Jadi, dengan berbotol-botol captikus (dan wine di salah satu momen), dia ingin mendengar pendapat dari orang mabuk. 

Lalu dia minta pendapat tentang topik yang akan diteliti, yakni soal perkawinan antara suku Bajo dan Minahasa. Topik yang tidak jauh-jauh dari kehidupannya: nelayan dan punya kedekatan kultur dengan suku Bajo. Sejak penyusunan proposal hingga riset skripsi, aku lihat dia betul-betul serius. Bahkan, ketika aku menawarkan pertanyaan tambahan, dia segera menemui sejumlah informan untuk memperoleh keterangan.

Kami memang diskusi cukup panjang soal topik ini, aku bahkan dapat banyak pengetahuan dari penelitiannya. Hingga, pada satu waktu, aku merasa sudah cukup berdiskusi dengannya. Ya, karena Alan sudah bisa menjelaskan banyak hal tentang interaksi suku Bajo dengan Minahasa, baik dalam aspek sosial, budaya dan perkawinan antara kedua suku tersebut.

Hasilnya, dia ceritakan di suatu kafe yang sudah dipenuhi teman-teman kampus. Dengan kalimat pendek dan senyum yang puas, Alan bilang “Kata dosen, ini skripsi terbaik, bro!”

Aku senang mendengarnya. Kerja kerasnya mendapat penilaian yang pantas. Hasil penelitiannya kemudian membuatnya dekat dengan salah seorang dosen, yang secara tidak formal menjadikannya semacam asisten.

Waktu itu, Alan sempat kepikiran melanjutkan kuliah dan berharap menjadi dosen. Tapi, seperti halnya fotografi (juga vespa dan gimbal, yang tidak diceritakan di sini), visi tersebut agaknya tidak berlanjut – atau mungkin hanya tertunda.

*

Ketika aku sudah berada di Jakarta, Alan memberi kabar bahwa dia akan menikah. Dia memintaku untuk bikin puisi yang akan dituliskan dalam undangan. Aku menyanggupinya. Aku tidak akan menceritakan seperti apa isi puisinya – silakan baca sendiri di undangannya (wkwkwkwkwk).

Aku bayangkan, di waktu-waktu belakangan, ia merasakan grogi, cemas atau gugup menjelang hari pernikahan. Bagaimana tidak cemas, sodara-sodari, lokasi resepsi pernikahannya dibikin di lapangan sepakbola. 11-12 dengan lokasi konser Raisa atau BlackPink, lah! (hahahahaha)

Tapi rasa cemas memikirkan lauk konsumsi, piring dan kursi untuk tamu undangan tentu saja persoalan sepele. Alan akan menikah, dan sedang jatuh cinta. Tidak ada yang bisa meredam energi dan semangatnya, saat ini!

* Selamat menikah Alan dan Tasya. Selamat ena-ena!

You Might Also Like

0 comments