Seperti Alien yang Baru Pertama Kali ke Bumi

May 05, 2023



Rasanya seperti alien yang baru pertama kali datang ke bumi. Coba memahami kota dan kehidupan yang sama sekali berbeda. Di mana orang-orang bergegas tinggalkan hari untuk menjadikannya sejarah dan menemui masa depan – yang nantinya juga akan jadi sejarah.

Mereka begitu semangat bicarakan proyeksi dan kiat-kiat untuk mewujudkannya. Sedangkan aku telah lama menjadikan hidup sebagai perjalanan tanpa peta, dan nyaris tidak merencanakan pencapaian-pencapaian. Itu, barangkali, karena aku tidak pernah punya cita-cita tunggal. Aku seringkali ingin menjadi dan melakukan apa saja ketika hasratku menuntut itu.
 
Di kota ini, sebagai seorang asing, aku tidak terlalu aktif dalam percakapan-percakapan informal. Beberapa orang – yang belakangan jadi dekat – bahkan menyebutku sebagai “pendiam yang bicara hanya ketika diajak ngobrol”. Padahal itu lebih dikarenakan topik-topik harian yang mereka bahas terlampau jauh dari pengalaman dan imajinasiku.
 
Aku tidak begitu mempersoalkannya. Aku hanya harus menjalani peran itu untuk sementara waktu. Karena, dalam beberapa waktu ke depan, aku mungkin akan mengubah sebutan mereka jadi kita atau kami.
 
Uniknya, dalam masa observasi ini, aku seperti memperoleh (mendapat?) kemudahan secara berturut-turut. Ruang-ruang sosial membuka pintu, dan seakan-akan mempersilakanku nikmati hidangan selamat datang. Pada seorang teman, aku bilang keadaan ini semacam kejutan menyenangkan.
 
Aku tidak peduli jika dalam beberapa jam ke depan, sesi ramah-tamah ini berganti paceklik panjang. Aku tetap akan bersenang-senang, makan kenyang dan minum hingga teler. Aku pikir, setelah episode vivere pericoloso, sudah selayaknya aku menikmati privilese di hari ini.
 
Tentu tetap ada hal-hal peliknya. Aku masih saja lelet. Gravitasi di kamar tetap kuat menyedot tulang punggungku ke permukaan kasur. Minimnya tuntutan menjadi belaian untuk meneguhkan tidur nyenyak yang menunda kerja mata.
 
Dan gilanya lagi, nyaris tidak ada tekanan yang memaksaku bergegas untuk menghabisi hari di jalanan yang brengesek. Jujur saja, kadang-kadang aku sulit membedakan wajah kebebasan dengan pengabaian. Kini, aku sedang berupaya untuk lepas dari situasi ini: tekanan akibat ketiadaan tekanan.
 
Entahlah. Barangkali aku hanya kesepian. Aku tidak terbiasa menghabisi hal-hal menyenangkan seorang diri, tanpa membagikannya pada orang-orang terdekat. Ya, di masa lampau aku punya banyak teman dekat. Membagi kegembiraan dengan mereka tidak pernah menjadi penyesalaan.
 
Yang jadi soal, di masa lalu, kejutan hidup lebih mirip prank: menjatuhkanku kemudian berpura-pura menolong untuk mengulanginya berulang-kali. Hingga pada satu titik, aku merasa cukup bosan dan berpikir mengakhiri permainan jatuh-bangun di tempat yang sama. Tidak gampang, tapi aku bisa ke luar hidup-hidup dari sana.
 
Tapi, aku hanya punya sedikit penyesalan di masa lalu. Sedikit sekali. Bahkan, tiap kali menyaksikan atau mengingat kebodohan yang pernah kubuat di masa lalu, aku nyaris selalu senyum dan ketawa. Aku tidak yakin hal-hal bodoh akan terasa sama menghiburnya di kemudian hari.
 
Setelah beberapa waktu, aku tidak pernah merasa terlambat ketika putuskan mendatangi semesta yang berbeda. Di sini. Sekarang. Kalaupun terlambat merupakan kata keterangan yang tepat, aku tidak begitu peduli. Aku sejak lama telah menyusun puing-puing hidup dari tumpukan pengalaman dan pasir sejarah, tanpa sejengkalpun material masa depan tersusun di tubuhku. Dalam hal ini, konsep waktu sama sekali tidak berlaku bagiku.
 
Mungkin suatu saat aku akan mulai merencanakan sesuatu. Tapi sekarang aku hanya akan melahap segala yang ada di hadapanku. Karena, alien yang baru pertama kali tiba di bumi sudah sepantasnya menikmati berbagai hal yang terbilang asing (walupun sebenarnya yang asing adalah aku).

Entahlah. Tidak ada yang pasti. Hanya sejarah yang pernah, sempat dan selalu dituliskan. Masa depan tidak.

You Might Also Like

0 comments