Bli Robi dan Cerita Tolak Reklamasi

September 30, 2023



Aku senang sekali hari ini, ketika menghadiri suatu diskusi terkait masyarakat adat Mentawai, di salah satu bilangan di Jakarta. Soalnya, salah satu musisi yang paling memengaruhi hidupku, dalam satu dekade belakangan, menjadi pengisi acara di kegiatan itu.

I Gede Robi Supriyanto namanya, the green grunge gentleman. Navicula, band yang didirikannya, – bersama Efek Rumah Kaca – menjadi vitamin kognitif untuku dalam mengarungi aktivitas tulis-menulis.
 
Banyak lagu dari dua band itu jadi semacam sound track, ketika aku dan teman-teman di Daseng Panglima (Sekretariat Asosiasi Nelayan Tradisional), Manado, lagi kencang-kencangnya menolak reklamasi pantai.
 
Kami pernah menyusup ke salah satu acara di Manado, yang mengundang Navicula, untuk meminta bli Robi membacakan manifesto tolak reklamasi di pantai Sario Tumpaan, tahun 2013. Aku lupa nama kafenya, karena memang sudah lama tutup.
 
Yang aku ingat, saat itu, bli Robi membacakan poin-poin penolakan reklamasi Teluk Manado – juga penolakan pertambangan di Pulau Bangka, Sulawesi Utara, yang dititipkan perwakilan Save Bangka Island.

Bli Robi membacakan manifesto tolak reklamasi Sario Tumpaan, Manado,
ditemani almarhum bli Made. Foto: Cecep

Bahkan, ketika Navicula – minus bli Dankie a.k.a Dadang – datang lagi ke Manado pada tahun 2014, untuk mengisi Festival Tatoo, kami niatkan ‘menculik’ mereka demi kampanyekan penolakan reklamasi di pantai Sario Tumpaan.
 
Untungnya, personel Navicula tidak keberatan. Untungnya lagi, kami dapat kesempatan panjang, bukan saja untuk bentangkan spanduk tolak reklamasi, tapi juga menghabiskan hari dengan ngobrol-ngobrol dan makan ikan hasil tangkapan nelayan setempat, temani mereka wawancara di radio lokal, hingga minum bir di hotel tempat Navicula menginap.
 
Waktu itu, kami – pemuda-pemudi relawan tolak reklamasi pantai Sario Tumpaan – menggunakan segala cara agar tambatan perahu nelayan tidak digusur, atau berubah jadi kompleks industri belanja.
 
Pada satu sisi misi itu berhasil. Reklamasi di pantai Sario Tumpaan berhenti, tanpa sempat menimbun tempat parikir perahu  nelayan, malahan mengubah masterplan yang direncanakan salah satu town square terbesar di kota Manado, yang berencana menimbun pantai itu.
 
Tapi di sisi lain, kami rasa, wilayah reklamasi pantai telah melebihi batas kesepakatan para pihak yang bermediasi – yang pada tahun 2009-2010 sempat difasilitasi Komnas HAM.

Navicula bersama nelayan dan relawan tolak reklamasi pantai Sario Tumpaan. Foto: Cecep


 
Maka, ketika bertemu bli Robi di kota yang berbeda, aku kembali memperkenalkan diri sambil menanyakan, “Bli masih ingat kita pernah bentangkan spanduk tolak reklamasi di Manado?”
 
Dia jawab, “masih dong,” lalu menyetujui permintaanku untuk wawancara selepas penampilannya di panggung acara – bagian yang tidak akan detail kuceritakan di blog ini (sayang sekali, nanti akan kutuliskan di website berbeda).
 
Di kegiatan itu, bli Robi menyanyikan 7 lagu yang 6 di antaranya akrab di telingaku – kecuali “Balada Petani”. Hebatnya lagi, meski tampil seorang diri, dia bisa menghipnotis hampir semua penonton untuk nyanyi bersama.
 
Setelah merampungkan 7 lagu di atas panggung, aku kembali menemuinya. Dengan jantung yang bergetar kencang, aku mengingatkannya tentang janji wawancara. Dia mengiyakan, meski kami masih ngobrol beberapa menit.
 
Hingga, ketika seorang panitia membawakan 2 botol bir, kami berbagi, lalu duduk di suatu bangku kosong.
 
Sebelum dia tampil, sebenarnya aku sudah menyusun daftar pertanyaan. Tapi ketika di atas panggung bli Robi membocorkan salah satu projectnya, aku langsung mengubah rencana dan segera menyusun angle baru.
 
“Tidak buru-buru, bli?” tanyaku. Dia bilang tidak. Maka, kusiapkan alur pertanyaan yang lebih panjang dari rencana semula. Sebab, kataku, “karena jarang ketemu, aku mau tanyakan beberapa topik sekaligus.”
 
Bli Robi tidak keberatan. Wawancara berlangsung sekitar 25 menit. Sisanya, kami ngobrol banyak hal, soal iklim, persoalan sampah hingga kebijakan lingkungan di Indonesia. Tentu, sambil menghabiskan sebotol bir yang diberikan panitia.
 
Aku juga sempat menyinggung tentang rencana kegiatan the Society of Indonesia Environmental Journalists (SIEJ), beberapa waktu ke depan. Dia sangat tertarik untuk ikut terlibat. Aku senang mendengar itu, dan berjanji menyampaikan perkembangan tentang kegiatan yang kumaksud.
 
Nyaris 1 jam kami ngobrol, hingga seorang panitia mengajaknya ke suatu tempat, dan aku mengatakan akan pulang lebih dulu.
 
Aku rasa, dalam rentang satu dekade sejak terakhir berjumpa, bli Robi tidak banyak berubah. Jika beberapa musisi menyerah pada usia tua, bli Robi enggan menyurutkan energinya. Sebab dia sadar, apa yang dia buat bukan hanya untuk dirinya sendiri.
 
“Aku ndak mau anakku nanti berada dalam situasi lingkungan yang penuh konflik,” ujarnya, yang mengingatkan aku pada lirik dan judul lagu Manic Street Preachers, “If you tolerate this, than your children will be next”.
 
Dari bli Robi aku tahu, tidak semua yang beranjak tua akan jadi menyebalkan. Beberapa di antaranya masih ada yang insaf, bahwa bumi ini seharusnya masih layak untuk ditinggali generasi sesudah kita. Tepat seperti lirik yang dinyanyikan Navicula, “tak akan ada ibu bumi ke dua bila ibu bumi telah tiada.”
 
***
 
Btw, terima kasih untuk Christian Ignatius Setiawan, alias Cecep, untuk foto-fotonya. Ngana selalu ada di momen-momen penting, Ceps!

You Might Also Like

0 comments